Penyebaran COVID-19 Delta di Inggris Mengerikan, Wajib Jadi Pelajaran
jpnn.com, LONDON - Studi prevalensi besar yang dipimpin oleh Imperial College London menyebutkan bahwa COVID-19 Delta bertanggung jawab atas 50 persen lonjakan infeksi di Inggris sejak Mei lalu.
Hasil riset itu seakan memperkuat keputusan Perdana Menteri Boris Johnson menunda penghapusan pembatasan COVID.
"Prevalensi secara eksponensial naik, yang dipicu oleh usia yang lebih muda dan tampaknya bertambah dua kali lipat setiap 11 hari. Jelas, bahwa ini kabar buruk," kata Steven Riley, profesor penyakit menular di Imperial College London kepada awak media.
Studi itu merupakan survei prevalensi terbesar di Inggris, dengan 109.000 partisipan diuji dalam putaran terakhir.
Riley menambahkan bahwa tingkat vaksinasi yang tinggi di Inggris mempersulit prediksi seberapa lama pertumbuhan ekponensial itu akan berlangsung. Ia mengatakan peluncuran cepat vaksinasi pada kelompok usia yang lebih muda seharusnya bisa memperlambatnya.
Pemerintah mengatakan data tersebut mendukung keputusan Johnson untuk mengurungkan penghapusan pembatasan COVID-19 di Inggris hingga 19 Juli, mengingat ancaman varian Delta yang pertama kali muncul di India, dan perlunya memvaksinasi masyarakat lebih banyak.
Lebih dari separuh populasi orang dewasa di Inggris telah menerima dua doksis vaksin, dan lebih dari tiga-perempat orang dewasa telah menerima sedikitnya satu dosis vaksin.
COVID-19 varian Delta telah diakui mengurangi keampuhan satu dosis vaksin terhadap gejala ringan. Namun, dua dosis diyakini masih memberikan perlindungan kuat terhadap penyakit parah, seperti yang ditunjukkan bukti awal.