People Power dan Menguji Kenegarawanan Prabowo
jpnn.com - Oleh: Juventus Prima Yoris Kago
Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI
ISU politik Indonesia pasca-pemilu serentak 2019 kian memanas jelang pengumuman resmi hasil hitung Komisi Pemilihan Umum. Sejumlah tokoh, mulai dari Amin Rais hingga bekas jenderal Kivlan Zen, mewacanakan akan melakukan gerakan people power untuk mengepung KPU karena dianggap melakukan banyak kecurangan yang menguntungkan kubu Jokowi - Mar’uf dan merugikan pihak Prabowo-Sandi.
Salah Kaprah Istilah People Power
Dalam istilah perpolitikan modern, people power merupakan gerakan massa aksi yang secara demontratif melakukan penggulingan kekuasaan presiden atau pemerintahan yang sah. Upaya ini disebut sebagai kekuatan rakyat. Seluruh rakyat turun ke jalan memaksa presiden meletakkan jabatannya karena melakukan pelanggaran konstitusi dan otoriter.
Konteks gerakan people power adalah negara totaliter yang mengekang seluruh ekspresi kehendak bebas masyarakat serta kesewenangan penguasa. Itu artinya rakyat ingin agar kebebasan benar-benar menjadi yang utama dalam kehidupan bernegara. Artinya rakyat yang utama dan bukan negara yang mengatur.
Pasca-pemilu serentak 2019, istilah people power terdengar sangat nyaring setelah diserukan oleh Amin Rais. Pertanyaannya, apakah saat ini kita berhadapan dengan penguasa tiran dalam rezim totaliter? Tidak! Kita tidak sedang dalam situasi itu. Kita sedang berada dalam iklim demokrasi yang baik.
Kebebasan kita tidak sedang terbelenggu oleh negara. Penguasa kita bukan seorang otoriter sehingga tidak ada alasan untuk menggulingkan secara paksa oleh gerakan bernama people power.
Mengapa harus ada gerakan people power? Tidak ada alasan lain selain daripada ketidakpuasan Prabowo Subianto dan para pendukungnya atas kekalahannya dalam pertarungan Pilpres 17 April lalu. Ketidakpuasan itu dikapitalisasi menjadi sebuah gerakan massa yang akan turun ke jalan dengan alasan pemilu ini curang secara terstruktur, masif, sistematis, dan brutal.