Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik
Pasalnya, beberapa pelaku teror tidak beroperasi sendiri, melainkan ada peran suami.
"Dalam konteks penanggulangan perlu melihat perempuan dengan daya lakunya atau mengakui agensinya. Saya senang tadi dari BNPT mempunyai paradigma yang selaras, juga dari Kemen PPPA, bahwa daya laku itu penting, bukan hanya sebagai sosok yang jadi korban, tidak berdaya," ujar dia.
Sementara itu, Analis BNPT Leebarty Taskarina menuturkan, keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme di Indonesia terutama yang bersinggungan dengan ISIS tidak bisa dianggap remeh.
Pasalnya ada latar belakang pribadi, pengaruh orang terdekat, serta identitas sosial yang terkait dengan solidaritas muslim.
"Terdapat narcissistic disorder yang membuat dia ingin terlihat lebih unggul tapi dengan cara berbeda karena dia teralienasi dari kelompok yang lebih dominan, hingga akhirnya dia ingin menjadi pemimpin dalam perannya," katanya.
Kehadiran agensi dalam aksi terorisme perempuan juga ditemukan dalam penelitian Dosen Psikologi Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Dhestina Religia Mujahid, yang membilang peningkatan peran aktif perempuan dalam aksi teror adalah egalitarianisme gender untuk mempermalukan laki-laki yang dianggap lemah dengan melakukan aksi sendiri.
"Pada penelitian lain juga menyebutkan ada rasa agensi perempuan yang muncul ketika melihat laki-laki tidak mampu melakukan perannya sebagai laki-laki yang sering disimbolkan sebagai orang yang lebih berani. Ketika ada tugas yang diberikan kepada laki-laki dan ternyata laki-lakinya enggak berani, di situ muncul ada agensi perempuan," kata dia.
Berdasarkan data sepanjang 2000 -2023, terdapat 65 putusan pengadilan dengan terpidana perempuan yang terlibat terorisme. Berdasarkan data Densus 88 AT Polri terdapat 68 perempuan yang ditangkap akibat terlibat dengan terorisme.