Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Perayaan Imlek di Kampung Tionghoa, Seperti Apa?

Doanya Gunakan Bahasa Bali, Usai Sembahyang Dilakukan Anjangsana

Selasa, 09 Februari 2016 – 09:46 WIB
Perayaan Imlek di Kampung Tionghoa, Seperti Apa? - JPNN.COM
Warga keturunan Tionghoa merayakan Imlek di Banjar Lampu, Desa Catur Kintamani Barat, Bali. FOTO: Bali Express/JPNN.com

“Dulunya sebelum saya menjabat ketua perkumpulan Tionghoa, persembahyangan saat perayaan di konco dilakukan per keluarga. Namun saat saya menjabat sejak dua tahun lalu, saya berlakukan agar persembahyangan dilakukan secara bersama-sama. Untuk perlengkapan seperti lampion dan sebagainya dibawa dari Denpasar,” paparnya.

Ditanyakan apakah selama ini, hidup berdampingan dengan warga pribumi cukup baik? Ayusta mengungkapkan jika sejak awal keberadaan yakni sejak 400 tahun lalu kehidupan antara keduanya berjalan sangat baik. Hampir tidak ada sekat dan warga Tionghoa ini pun mendapat posisi yang sama.

“Kami selalu berjalan beriringan. Bahkan hampir semua warga Tionghoa ini menikah silang dengan warga Hindu. Saat ini saja, kelian banjar adatnya orang Tionghoa. Sedangkan saya jadi kelian pecalang. Jadi kami benar-benar dianggap di sini. Jadi kami setara dengan saudara Hindu. Untuk upacara kematian pun kami turut andil. Karena kami bermasyarakat harus seperti itu,” tuturnya.

Dalam kesehariannya pun pihaknya menggunakan Bahasa Bali, karena mereka merasa bagian dari warga Bali. Apapun kegiatan warga Hindu, selalu para warga keturunan Tionghoa dilibatkan. Menariknya di setiap rumah warga Tionghoa wajib terdapat sanggah dan juga since yang merupakan termpat persembahyangan orang Budha untuk skala rumah.

“Dan ini memang suatu kewajiban, karena jika tidak ada sanggah maka akan ada akibat yang diterima,” terangnya seperti dilansir Bali Express (Grup JPNN).

Perayaan Imlek setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan biasa bagi masyarakat asli Banjar lampu ini. Jika untuk toleransi, pria yang memiliki istri asal Kintamani ini mengungkapkan jika banjar Lampu lah yang seharusnya dijadikan barometer untuk Bali bahkan Indonesia.

“Kami biasa hidup menikah dengan keyakinan yang berbeda. Misalnya istri saya Hindu, saya Budha jadi gak masalah. Dari nama kami juga mengandung nama Bali, tapi ada yang beberapa hingga saat ini masih menggunakan nama Cina. Kami berharap keharmonisan ini tetap bertahan sampai kapanpun. Perbedaan jangan dijadikan suatu perdebatan yang dapat menimbulkan perpecahan,” katanya.(zul/tos/fri/jpnn)

Perayaan Imlek bagi warga Tionghoa merupakan tradisi. Meski telah hidup berbaur dengan warga setempat, warga keturunan Tionghoa di Banjar Lampu,

Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

BERITA LAINNYA
X Close