Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA

Agar Ayah Tak Harus Jadi Turis untuk Momong Anak

Selasa, 14 Juli 2015 – 00:00 WIB
Perca, Rumah Besar Perempuan WNI Bersuami WNA - JPNN.COM
GLOBAL CITIZEN: Rulita Anggraini dan suaminya, Mark Winkel, bersama tiga buah hati mereka di kediamannya di kawasan Manggarai, Jakarta. Foto: Miftahul Hayat/Jawa Pos

jpnn.com - Dalam pernikahan beda bangsa, bukan hal mudah menyatukan dua budaya. Namun, yang tak kalah sulit adalah aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga kepemilikan properti yang cenderung merugikan para pelaku perkawinan campuran. Perca, Organisasi Perkawinan Campuran Indonesia atau Indonesian Mixed Marriage Society, berupaya membantu dan melindungi keluarga seperti mereka.

Laporan Sekaring Ratri, Jakarta

BEGITU memutuskan menikah dengan Mark Winkel, Rulita Anggraini sudah paham betul segala risiko yang harus dihadapi. Mark adalah lelaki berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS). Sementara Rulita adalah perempuan Indonesia berdarah Jawa.

Mereka relatif bisa mengatasi perbedaan-perbedaan budaya yang mendasar. Mark dan Rulita mampu melewati kehidupan pernikahan mereka dengan mulus. Keduanya juga telah dikaruniai tiga anak.

”Suami saya ini menganggap Indonesia sudah seperti rumah sendiri. Dia merasa cocok sekali di sini. Dia juga sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan dan kebudayaan orang Indonesia, misalnya jam karet,” ujar Rulita saat ditemui di kediamannya di kawasan Manggarai, Jakarta, Sabtu (11/7).

Justru yang menjadi persoalan mereka dan banyak pelaku perkawinan campuran lainnya adalah sejumlah kebijakan yang diskriminatif. Rulita mengungkapkan, ada beberapa peraturan yang cukup merugikan. ”Misalnya terkait kewarganegaraan,” katanya.

Dahulu sebelum 2006, anak-anak hasil perkawinan campuran itu harus mengikuti kewarganegaraan ayahnya. ”Jadi, anak-anak saya itu awalnya WNA (warga negara asing) karena anak saya ini lahir sebelum tahun 2006. Yang pertama itu tahun 1996, yang kedua 2000, dan yang ketiga 2005,” paparnya.

Alhasil, lanjut Rulita, sejak anak-anaknya lahir hingga 2006 tersebut, dirinya dan sang suami harus bolak-balik mengurus izin tinggal bagi putra-putrinya. Bahkan, setelah perpanjangan tiga tahun masa izin tinggal, mereka harus keluar dari Indonesia dan kemudian baru masuk lagi ke tanah air agar tak terusir dari tanah kelahiran. ”Ya, memang jadinya ribet sekali waktu itu,” kenangnya.

Dalam pernikahan beda bangsa, bukan hal mudah menyatukan dua budaya. Namun, yang tak kalah sulit adalah aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

X Close