Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi
Alasannya, ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya yang terlebih dahulu tumbuh subur. Karena itu, tidak seharusnya budaya tersebut dihilangkan begitu saja.
Islam yang tumbuh di Nusantara adalah Islam khas Nusantara dengan berbagai pernik budayanya yang berbeda dari Islam yang masuk dari jazirah Arab dengan kultur yang berbeda.
Kubu lain meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang utuh dan komplet sekaligus murni. Tidak boleh ada tambahan pernik-pernik budaya atau nilai lokal yang akan menodai kemurnian Islam yang berfondasi tauhid.
Sejarah mencatat, Islam diterima secara luas di tanah Jawa karena strategi dakwah yang menekankan pada akulturasi budaya. Yang terjadi kemudian adalah perpaduan antara tradisi Hindu-Buddha dengan tradisi baru Islam.
Sering tradisi-tradisi itu bisa menyatu, tetapi sering juga tidak berkesesuaian sehingga menimbulkan pertentangan berkepanjangan. Tradisi tahlil adalah salah satu contoh proyek akulturasi yang sampai sekarang membelah para pemeluk Islam menjadi dua kutub yang berseberangan.
Clifford Geertz dalam Agama Jawa menyebut tiga aliran, santri, abangan, dan priyayi. Santri adalah kelompok yang lebih puritan dalam menyelenggarakan agama. Abangan adalah kelompok Islam Nusantara yang akulturatif.
Priyayi adalah kelompok elite sosial yang dalam tradisi agama lebih dekat ke kelompok abangan. Studi tersebut tetap relevan sampai sekarang.
Definisi Islam Nusantara ala Jokowi memang belum jelas betul. Secara umum, maksudnya adalah Islam yang lebih toleran pada tradisi Nusantara yang dalam hal ini harus dibaca sebagai Jawa.