Perdebatan Hangat Malah saat Menyensor Film Religi
Sebagai penyensor, tugas utama Sudiono adalah menonton film asli sebelum ditonton jutaan pemirsa di Indonesia. Banyak film yang belum diedit yang sangat vulgar, sadis, atau menakutkan. Karena itu, jika tidak disensor (dipotong), film tersebut bisa memengaruhi penonton. Terlebih film dari luar negeri. Yakni, Hollywood, India (Bollywood), dan film Asia lainnya.
Film-film yang dia garap mulai film bertaraf box office, berformat imax (image maximum), hingga film picisan yang dibuat asal oleh sutradara alias yang penting sang artis tenar.
”Sampai-sampai saya nggak pernah nonton ke bioskop, nonton film di televisi pun jarang, soalnya sudah enek. Paling saya nonton berita atau siaran yang live,” kata Sudiono saat dijumpai Jawa Pos di salah satu studio penyensoran film di gedung LSF.
Gedung LSF di lantai 8 memiliki empat studio penyensoran film. Setiap studio berukuran sama, yakni sekitar 6 x 4 meter. Di dalamnya terdapat sejumlah perlengkapan sensor film, antara lain, dua layar televisi layar datar ukuran 60 inci.
Lalu, di antara dua televisi tersebut ada layar dari kain putih yang dibentangkan mirip layar bioskop, tapi jauh lebih kecil. Ukurannya sekitar 3 x 1 meter. Di bawah layar bioskop mini tersebut ada penunjuk waktu digital yang menampilkan jam, menit, dan detik.
Di hadapan tiga layar tersebut ada lima kursi dengan meja yang disusun melengkung. Kursi-kursi itu dikhususkan untuk lima anggota tenaga sensor. Tenaga sensor tersebut berasal dari berbagai unsur, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Saat film diputar di dalam studio itu, mereka berperan menjadi semacam tim kelayakan sebuah film dan penentu scene-scene mana di dalam sebuah film yang harus disensor.
Di sebelah lima kursi tersebut juga ada sebuah kursi dan sebuah meja untuk operator seperti Sudiono. Sebenarnya di dalam ruang studio itu ada sebuah ruangan sempit yang letaknya persis di belakang lima meja tadi.