Perkembangan Konsepsi Otsus Bali Sampai pada UU Provinsi Bali
Oleh I Wayan Sudirta, Anggota DPR RI Fraksi PDIP Dapil Balib. Aspirasi itu sudah mulai muncul sejak tahun 1999 yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat Bali. Selanjutnya, aspirasi masyarakat Bali tersebut telah mendapatkan penerimaan politik dan didukung secara resmi oleh pemerintahan daerah, baik pada level Provinsi maupun pemerintahan kabupaten/kota se-Bali.
Substansi kekhususan yang dikendaki di Bali meliputi: Pariwisata (Perencanaan, Perjinan, Promosi dan Pengendalian pariwisata yang terpadu di Pemerintah Provinsi), Adat dan Budaya (Pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya dan penghormatan atas hari-hari libur sesuai dengan adat dan budaya), Pertanahan (Pengakuan atas tanah-tanah adat).
Kemudian Tata Ruang meliputi Perencanaan dan Pengendalian Tata ruang yang berada dalam satu kesatuan ekologis, menghormati nilai-nilai budaya dan mempertimbangkan konsep kawasan suci.
Selanjutnya, Kependudukan (Perencaan dan pengendalian kependudukan yang terintegrasi antar wilayah dengan memperhatikan hak-hak warga Bali), Kelembagaan Daerah (Pengakuan dan penghormatan pada institusi representasi adat dan agama dalam sistem pemerintahan daerah), dan Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (Pembagian dana perimbangan yang berasal dari sektor pariwisata dan konsep “shareholders” dalam kepemilikana badan usaha antara pemerintah pusat dan daerah).
c. Walaupun memiliki basis argumentasi yang kuat, namun wacana Otsus dan daerah istimewa di luar empat daerah (Papua, Aceh, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta) memiliki hambatan politik yang tidak ringan.
Ada beberapa hal yang bisa menjadi tantangan politik dari gagasan Otsus ini:
1) Tantangan awal bisa muncul dari pembela gagasan Negara Kesatuan (Unitarianisme). Bagi para penyongkong gagasan ini, Otsus dianggap sebagai bagian dari mewujudukan federalisasi dalam negara kesatuan. Singkatnya, konsep otonomi khusus dipandang sebagai upaya memperkuat provinsialisme atau bahkan federalisme.
2) Tantangan berikutnya bisa berasal dari kalangan yang menganggap Otsus bukan solusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Pandangan ini semakin kuat muncul ketika terjadi problem dalam implementasi Otsus, baik di Aceh maupun Papua.