Perlindungan Korban Kejahatan HAM Belum Maksimal
jpnn.com - JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan korban kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia perlu mendapatkan perhatian serius. Menurutnya, selama ini perhatian terhadap korban kejahatan dan pelanggaran HAM belum diberikan secara maksimal.
"Korban kejahatan jarang diberikan perhatian. Aparat lebih fokus bagaimana pelaku kejahatan dijatuhi hukuman, sedangkan kebutuhan korban tidak diperhatikan. Padahal kebutuhan korban tidak hanya dengan cukup menghukum pelaku," ujar Haris saat konfrensi pers di sela-sela kegiatan Rapat Koordinasi Pemangku Kepentingan dalam Aktivitas Perlindungan dan Pemenuhan Hak Korban Kejahatan pada Proses Peradilan Pidana dan Penegakan HAM, di Ancol, Jakarta, Kamis (31/10).
Dalam kesempatan itu Haris didampingi Wakil Ketua LPSK Lies Sulistyani, Hasto Atmojo dan Edwin Partogi. Haris menegaskan, harus ada perhatian dan simpati besar terhadap korban kejahatan. Menurutnya, masyarakat internasional saja menyadari bahwa ketika terjadi pidana tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku.
Tapi, juga harus memberikan penanganan yang layak terhadap korban kejahatan. Bahkan, kata dia, sudah dideklarasikan prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. "Dalam deklarasi itu hak-hak korban diakui," ujarnya.
Di negeri ini, ia melanjutkan, sejak lahir Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang Saksi dan Korban, barulah pengaturan hak korban mulai terinci. Bahkan, sudah ada lembaga yang khusus memberikan perhatian kepada mereka.
Menurutnya, UU tersebut terus disosialisasikan sehingga bisa terimplementasi dengan baik. Ia menambahkan, sejak lahirnya UU 13 itu, LPSK merupakan satu-satunya lembaga yang diamanatkan untuk memberikan hak reparasi dan perlindungan terhadap korban kejahatan selain terhadap saksi.
"Sehingga LPSK harus berkomitmen untuk memfasilitasi dan melayani korban memeroleh keadilan," ujarnya.
Namun, ia menyadari LPSK mesti bekerjasama dengan berbagai pihak untuk melakukan sinergitas. Menurutnya, LPSK kerap menemukan kendala dalam memfasilitasi pemberian ganti rugi (restitusi dan kompensasi) serta bantuan terhadap korban kejahatan. Salah satunya, lanjut Haris, masih lemahnya ketentuan pemberian reparasi terhadap korban dalam UU 13.