Pernikahan Mubarakah: Detik-detik Arifin Cium Kening Karima
“Tidak apa-apa tegang. Memang harus. Kalau enggak, ya enggak jadi,” goda Hidayatullah kembali kepada adiknya.
Hampir 15 menit berlalu. Ketika mertua datang dengan kabar gembira. Arifin dan rombongan dipersilakan masuk. Salam diucapkan sang kakak. Lantang untuk mendiamkan bisik-bisik dari dalam. Di ruang tamu berderet pria paruh baya menyambut. Bersalaman dan pelukan satu per satu sebelum memasuki ruang berikutnya. Tempat sang istri menunggu.
“Sebelumnya berpantun dulu. Karena kami orang Melayu. Ikan sepat, ikan gabus. Lebih cepat lebih bagus,” ucap Hidayatullah disambut gelak tawa bagi yang mendengarnya.
Tirai yang memisahkan ruang dibuka. Nur Aisyah Karima duduk bersimpuh. Belasan perempuan, kebanyakan paruh baya mengapitnya. Dengan aba-aba sang kakak, Arifin langsung masuk dan ikut bersimpuh di depan istrinya. Keduanya lantas berpegangan. Membuat ruangan langsung ramai dengan canda dan tawa. Makin ramai ketika Arifin mencium kening Karima.
Karima yang tampak anggun dengan balutan gaun putih berjilbab langsung tersipu. Beberapa kali jemari lentiknya digunakan untuk menutupi wajah. Dengan mata yang sesekali melirik pria berbaju koko putih di depannya. “Mahar. Mana maharnya?” tanya keluarga yang hadir.
Seketika sekotak biru berisi perlengkapan salat dan Alquran diberikan. Dari tangan Arifin ke istrinya. Keduanya kembali saling memegang tangan. Ruangan kembali riuh. Namun sebelum mendapatkan kesempatan berkenalan dengan keluarga perempuan, Arifin diminta mengajak Karima ke kamar.
“Salat dulu. Jadi imam untuk istrimu,” pinta Karimusa E Nasution, ayah mertua Arifin.
Meski sudah kali ketiga bertemu Arifin, Karimusa menyebut belum berkurang suka citanya. Putri pertamanya dipersunting lelaki pilihan Hidayatullah. Yang disebutnya baik secara agama.