Pernyataan Capim KPK I Nyoman Wara Dinilai Bertentangan dengan Hukum
BACA JUGA:
Sebelumnya, Capim KPK yang berasal dari BPK, I Nyoman Wara, menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara. Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp 4,58 triliun. Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006 dinyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN).
Berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya. “Apakah masuk akal dari satu lembaga yang sama dapat mengeluarkan hasil audit investigasi yang saling bertentangan?” ujar Pantja.
Nyoman Wara menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006, BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi. Prof. Pantja mengingatkan, “bahwa dari data yang saya miliki, audit BPK 2002 adalah juga audit investigatif, bukan audit kinerja sebagaimana disampaikan Nyoman.”
Nyoman juga mengakui bahwa dalam audit BPK 2017, ia tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa karena dalam audit investigasi tidak perlu meminta tanggapan pihak terperiksa. Alasannya karena audit investigatif sifatnya rahasia sehingga berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), tidak perlu dimintakan tanggapan.
Mengenai hal ini, Prof. Pantja menjelaskan, “SPKN itu terdiri dari Kerangka Konseptual Pemeriksaan dan Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Adapun PSP terdiri dari tiga bagian, yaitu PSP No. 100 tentang Standar Umum, PSP No. 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, dan PSP No. 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan.”
Ia melihat apa yang disampaikan Nyoman hanyalah mendasarkan pada PSP No. 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan, paragraf 17, dimana untuk hasil akhir pemeriksaan dalam bentuk investigatif yang dituangkan dalam LHP memang tidak diperlukan tanggapan. Namun dalam proses pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dikemukakan Pasal 6 ayat (5) UU BPK dan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017, yakni pada Kerangka Konseptual Pemeriksaan, PSP No. 100, dan PSP No. 200, klarifikasi dan konfirmasi wajib dilakukan karena itu merupakan esensi dari suatu audit. Hal ini juga ditegaskan dalam PSP No. 300 paragraf A4 bahwa pemeriksa harus menyajikan LHP secara seimbang dan tidak memihak.
“Bagaimana menyajikan LHP secara seimbang jika tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap pihak terperiksa? Adalah sangat berbahaya apabila BPK dalam auditnya dibenarkan menyimpulkan pihak terperiksa telah merugikan keuangan negara tanpa melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada pihak yang diperiksa".