Perppu dan Misi Kemanusiaan
Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RISeperti peningkatan kapasitas ruang perawatan pasien Covid-19, penambahan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan, tunjangan untuk tenaga kesehatan, kebijakan pembatasan sosial ditingkat nasional, penghapusan berbagai kebijakan untuk angkutan mudik lebaran, dan masih banyak lagi.
Bahkan di dalam Perppu No 1 tahun 2020 sendiri juga terdapat komponen yang menjadi dasar hukum bagi pelebaran defisit pada APBN. Pelebaran defisit ini diperlukan agar gap penerimaan dan belanja negara bisa lebih dari 3% Produk Domestik Bruto (PDB) kita.
Langkah ini mengantisipasi kebutuhan belanja kita besar akibat penanganan dampak Covid-19, terutama belanja kesehatan dan mitigasi dampak ekonomi, namun penerimaan negara kita kecil akibat kegiatan ekonomi kita, dan global slow down.
Tanpa perppu ini, sangat tidak mungkin pemerintah bisa mengalokasikan Rp. 405,1 triliun untuk penganggaran penanganan Covid-19, Jaring Pengaman Sosial dan dampak ekonominya.
Rinciannya RP. 75 triliun untuk belanja kesehatan, Rp 110 triliun untuk kebijakan jaring pengaman sosial, Rp. 70,1 triliun untuk stimulus perpajakan dan KUR, dan Rp 150 triliun untuk berbagai program pemulihan ekonomi nasional.
Mari kita bandingkan kebijakan anggaran kita dalam menangani dampak Covid-19 dengan negara tetangga kita.
Korea Selatan menganggarkan penanganan Covid-19 dan pencegahan krisis ekonoinya sebesar 16 triliun Won (0,8% PDB), Malaysia 6 miliar Ringgit (0,4% PDB), Spanyol 8,9 milir euro (0,7% PDB), China 1,3 triliun reminbi (1,2% PDB), Arab Saudi 18,7 miliar USD (2,7% PDB), Perancis 45 miliar euro (2% PDB), Kanada138 miliar USD (6% PDB), Australia 189 A$, Amerika Serikat 2,1 triliun USD dan Singapura 54,4 miliar S$ (10,9% PDB), Indonesia sendiri Rp. 405,1 triliun (2,7% PDB)
Kebijakan penganggaran kita relatif sebanding dengan negara negara yang penderita Covid-19 belum terlalu signifikan, jika dibandingkan dengan Spanyol, dan Prancis, bahkan Malaysia.