Perpres Pelibatan TNI Dalam Menangani Terorisme Bakal Timbulkan Kerancuan
jpnn.com, JAKARTA - Desakan untuk menolak pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terus bergulir dari banyak penjuru.
Satu di antaranya yang menolak adalah Rafendi Djamin, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR).
Rafendi tak menepis kemungkinan adanya niat baik dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membantu menangani persoalan pertahanan dan keamanan. Apalagi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun memberi ruang kepada tentara untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme.
Masalahnya, banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
“Kalau dicermati, keberadaan Perpres tersebut bukan hanya tidak akan mengurangi ancaman atau mencegah dan melakukan pemulihan (akibat terorisme) secara efektif. Yang berpeluang terjadi justru timbulnya kerancuan di tingkat pelaksanaan,” ujar Rafendi Djamin, dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu (16/5).
Menurut Rafendi, isu seputar pelibatan TNI dalam menangani terorisme pada dasarnya masuk ke dalam dua ranah. Yakni, ranah penegakan hukum dan ranah dalam situasi perang. Ranah penegakan hukum itu bukan wilayah TNI, yang tugas dan fungsinya lebih ke urusan pertahanan.
Oleh karena itu, ketika tentara kemudian masuk ke ranah hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan di lapangan karena terjadi tumpang tindih peran dengan badan atau lembaga lain.
”Terutama karena kita punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menurut undang-undang menjadi leading sector dalam pencegahan hingga pemulihan terorisme,” kata Rafendi.