Perupa Dadang Christanto Mengubah Sekolah Jadi Galeri Seni
"Dengan seni melihat konflik politik bukan pada keberpihakan tapi pada akibatnya terhadap kemanusiaan," kata Dadang yang pindah ke Australia tahun 1999 karena mendapat tawaran mengajar di Darwin.
"Ketika saya mengajar di Darwin, anak-anak mahasiswa bingung kalau saya membicarakan politik Indonesia. Cuma mereka jadi bisa berpikir oh ada toh yang begitu di kehidupan.
"Susah kan kita membicarakan soal kelas, konflik sosial dengan anak yang hidupnya hanya senang-senang. Mungkin mereka tahu, tapi tidak terpikir untuk repot melihat itu. Buat mereka mungkin tidak relevan, tapi inilah dunia. Jadi konteksnya manusia hidup di bumi. Dalam konteks negara dan bangsa tidak relevan."
Dadang tak punya mimpi besar tentang galerinya. “Untuk menjadikan galeri ini terbuka secara luas untuk publik tidak mudah. Misalnya harus ada akses bagi orang disable. Lalu asuransi. Kalau mau jadi proyek yang serius harus konsentrasi, tulis proposal. Harus siap disibukkan masalah administrasi. Butuh perjuangan dan komitmen,” kata ia.
"Ini bukan proyek yang serius. Saya ingin menikmati sambil mengalir saja.”
Hidup di desa lebih ringan secara finansial, tapi menurut Dadang seperti mengisolasi diri dari dunia luar.
“Kalau finansial cukup saya maunya tiap minggu ke Sydney, supaya bisa sosialisasi. Kalau finansial cukup tidak masalah. Sosialisasi penting secara naluriah,” kata ia.
“Untungnya sekarang ada media sosial. Bagi saya Facebook benar jadi hiburan. Mendekatkan yang jauh. Meski juga bisa menjauhkan yang dekat, karena pilihan politik.”