Perupa Dadang Christanto Mengubah Sekolah Jadi Galeri Seni
Saya tidur di bawah pajangan lukisan Dadang, yang kebanyakan menghadirkan impresi tentang tragedi tahun 1965, ketika ratusan ribu bahkan Jenderal Sarwo Edhie menyebut tiga juta orang tertuduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisan organisasi underbouw PKI dibantai secara massal. Banyak yang diambil dari keluarganya dan lenyap tak tentu rimbanya. Termasuk ayah Dadang.
“Saya masih berumur delapan tahun ketika ayah saya diambil di suatu malam. Ibu saya sering dapat kabar kalau ia ditahan di suatu tempat, tapi didatangi tak ketemu. Banyak kabar begitu, tapi tak pernah ketemu,” kata Dadang yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah.
Ada jutaan orang seperti Dadang yang tumbuh dengan memori terbatas tentang orang tuanya yang dibunuh atau hilang setelah peristiwa 1965.
Sampai sekarang PKI masih menjadi stigma negatif yang terus dipelihara, dan negara belum memulihkan keadilan yang sepantasnya bagi korban 1965.
Dadang merawat ingatan tentang 1965 lewat karya seni. Ia pun menamakan studionya 1965 Artspace.
FireFox NVDA users - To access the following content, press 'M' to enter the iFrame.
Dadang mengatakan dengan karyanya yang dominan bertema 1965 ia tidak sedang berkampanye tentang politik Indonesia, tapi isu kemanusiaan.
"Kemanusiaan itu universal. Relevansi ada pada seni jika menyentuh kemanusiaan. Jika hanya politik saja itu akan meleset memahami. Bagi banyak orang Indonesia, terutama anak muda, tema 1965 saja sulit untuk dibuat relevan. Apalagi bagi orang Australia.