Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa
Kamis, 28 Oktober 2010 – 07:07 WIB
Keinginan tahlilan itu, dalam kondisi normal, memang dirasa wajar untuk menghormati orang yang meninggal. Tapi, kondisi saat itu tidak normal. Merapi sedang batuk-batuk keras. Gianto, pria kelahiran September 1971 tersebut, juga sudah melihat wedhus gembel mulai merangkak turun. "Kalau luncurannya mengarah langsung ke dusun, apa tidak "selesai" semuanya?" ungkap bapak dua anak itu.
Gianto kian gemes karena warga bilang mau mengungsi setelah tahlilan rampung. Pria asli lereng Merapi itu tak punya pilihan lain. Dia pun terpaksa menanti dengan hati kebat-kebit. "Kalau satu orang bisa saya seret. Tapi, ini sekitar 50 orang. Kan tak mungkin saya seret semua," ungkapnya.
Akhirnya, setelah 45 menit, acara tahlilan itu pun usai sudah. Warga menepati janjinya untuk mau diajak ke kamp pengungsian. Boleh dibilang, 45 menit itu adalah salah satu saat paling mencekam bagi Gianto plus rekan-rekan dan saudaranya.