Pimpinan MPR Selanjutnya Harus Amendemen UUD
Mulyadi mencontohkan pada 2009 ketika Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, kursi pimpinan MPR diserahkan ke PDI Perjuangan, almarhum Taufiq Kiemas. Penyerahan kursi ketua MPR itu merupakan bagian dari distribusi kekuasaan.
“Sebaiknya yang sudah mendapat kursi di DPR, tidak lagi mendapat kursi di MPR. Pimpinan MPR diprioritaskan pada partai yang belum mendapat kursi di pimpinan DPR. Ini bagian dari distribusi kekuasaan,” kata Mulyadi.
Soal layak atau tidak layak semua fraksi mendapat kursi pimpinan MPR, Mulyadi menilai pemilihan pimpinan lembaga dewan termasuk MPR adalah persoalan politik terkait dengan keinginan-keinginan partai. Sehingga terjadi negosiasi-negosiasi di antara partai supaya tidak terjadi kegaduhan. “Dalam hal ini, Partai Demokrat mengalir saja. Kami lihat situasi dan kondisi atau pandangan fraksi nanti,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara Margarito Kamis berpendapat pemilihan pimpinan MPR bukanlah persoalan hukum melainkan politik. Untuk menjaga atmosfer kebangsaan dan kehidupan bernegara, Margarito mengatakan DPR dipimpin oleh ketua dari kalangan nasionalis, sedangkan MPR dari religius.
Menurut Margarito, kombinasi itu juga sesuai dengan keinginan Proklamator Kemerdekaan RI Bung Karno. Margarito berpendapat jika kedua kekuatan politik itu, nasionalis dan religius bisa rukun maka situasi kebangsaan juga adem.
“Partai berasaskan agama perlu dipertimbangkan dalam rangka memastikan atmosfer kebangsaan mewakili kekuatan besar nasionalis dan kekuatan agama. Layak atau tidak layak bukan soal hukum tetapi soal politik, yaitu persoalan integrasi bangsa, kesatuan dan kekokohan bangsa,” katanya. (boy/adv/jpnn)