Potensi Penggunaan Panas Matahari untuk Pendingin
Oleh: Tri Ayodha AjiwigunaPada gambar 5 terlihat siklus ABCD dan BCEF sama dengan sistem refrigerasi absorpsi yang sebelumnya. Perbedaan disini hanyalah memanfaatkan panas matahari untuk keperluan generatornya. Pemanfaatan panas matahari ditunjukkan oleh siklus 1-2-3. Fluida (air) pada titik 1 dialirkan ke solar thermal collector untuk menyerap energi panas. Setelah keluar dari solar thermal collector, temperatur fluida tersebut menjadi tinggi (Titik 2). Kemudian fuida ini dialirka generator untuk mentransferkan energi kalornya dengan menggunakan penukaar kalor (haet exchanger).
Sistem Ammonia-air lebih rumit karena dapat mencapai temperatur dibawah titik beku air, ini artinya perlu ada sistem yang menjaga agar tidak ada uap air yang masuk ke dalam evaporator sehingga tidak terjadi kristal es yang dapat menyumbat aliran. Disamping itu, temperatur generator yang dibutuhkan cukup tinggi yaitu 95 – 125 oC. Kelebihan sistem ini adalah dapat mencapai temperatur yang sangat rendah yaitu dibawah titik beku air. Untuk sistem H2O-LiBr, generatornya dapat menggunakan temperatur yang lebih rendah yaitu 70–90 oC dan memiliki koefisien kinerja (COP) yang sedikit lebih baik dari pada sistem Ammonia-air. Namun kelemahannya adalah temperatur pada evaporatornya tidak dapat kurang dari 5 oC.
Beberapa penelitian tentang pemanfaatan panas matahari untuk keperluan sistem pendingin telah dilaporkan dalam jurnal. Salah satunya adalah dengan menggunakan solar sollector seluas 11 x 11 m2, sistem H2O-LiBr dapat menghasilkan kapasitas pendinginan sebsesar 31 sampai dengan 72 kW.[***]