Presiden Bongbong
Oleh: Dhimam Abror DjuraidDemonstrasi menentang Marcos mulai bermunculan secara sporadis. Puncaknya terjadi pada 1986 ketika rakyat sudah semakin bernyali.
Puluhan ribu orang melakukan demonstrasi yang kemudian dikenal sebagai Revolusi EDSA (singkatan dari Epifanio de Los Santos Avenue), nama sebuah jalan di Metro Manila yang menjadi pusat unjuk rasa rakyat.
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik Filipina Kardinal Sin merestui dan mendukung gerakan itu. Rakyat Filipina yang mayoritas Katolik makin berani turun ke jalan.
Ratusan ribu orang tiap hari memenuhi EDSA untuk melakukan protes damai. Puncaknya terjadi ketika ratusan ribu orang bergerak mengepung Istana Malacanang tempat Marcos dan Imelda bersemayam.
Pemimpin tertinggi militer Jenderal Fidel Ramos melihat situasi yang tidak terkendali dan memutuskan untuk mendukung gerakan rakyat. Marcos harus menghadapi risiko pengadilan rakyat. Ia tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri ke Amerika.
Sebuah pemerintahan paling brutal dalam sejarah Filipina akhirnya tumbang oleh People Power. Rakyat Filipina -yang masih mengenang Ninoy- akhirnya memilih Cory Aquino sebagai presiden baru.
Seorang ibu rumah tangga yang tidak punya pengalaman politik dipilih menjadi presiden karena menjadi simbol perlawanan yang tidak kenal takut selama revolusi.
Namun, tradisi politik Filipina yang elitis selalu melahirkan dinasti. Sejak era Macapagal sampai Rodrigo Duterte sekarang, dinasti politik bermunculan.
Setelah Cory Aquino mengakhiri masa jabatannys, giliran Jenderal Fidel Ramos yang menjadi presiden. Tradisi politik keluarga Aquino kemudian dilanjutkan oleh anak kandung Ninoy dan Cory, yaitu Benigno Aquino Junior (1960-2021) yang menjadi presiden Filipina pada 2010 sampai 2016.
Sepeninggalan Aquino Jr, muncullah Rodrigo Duterte, politikus garis keras yang tidak segan menggunakan kekerasan untuk menjalankan kepemimpinannya. Kemenangan Duterte disebut sebagai kembalinya era otoritarian ala Marcos.
Satu dekade terakhir, Rodrigo Duterte yang dikenal karena perangnya terhadap narkoba memiliki pengaruh sangat besar dalam politik Filipina. Duterte juga mempunyai pengaruh besar dalam dalam kemenangan Bongbong Marcos.
Anak kandung Duterte, Sara Duterte, merupakan pasangan Bongbong pada pemilu kali ini. Terulangnya kejayaan keluarga Marcos dan masih berjayanya keluarga Duterte adalah simbol kemenangan sayap kanan Filipina.
Perkembangan politik di Filipina memiliki resonansi dengan kondisi di Indonesia. Bongbong banyak didukung oleh pemilih milenial yang tidak merasakan era otoriter di bawah Marcos Senior.