PTS Kesulitan Lacak Dosen Rangkap Guru
JAKARTA - Kalangan perguruan tinggi swasta (PTS) masih keberatan dengan pemberian sanksi pemblokiran pangkalan data perguruan tinggi (PDPT) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sanksi pemblokiran itu diberikan karena ada dosen yang ketahuan merangkap jabatan sebagai guru.
Kemendikbud terpaksa bertindak tegas, karena posisi dosen yang rangkap jabatan itu merugikan keuangan negara. Sejumlah dosen yang merangkap jabatan, diketahui mendapatkan tunjangan profesi dobel. Yakni tunjangan profesi sebagai guru dan tunjangan profesi sebagai dosen.
Untungnya Kemendikbud bisa mengetahui perilaku dosen yang rangkap jabatan sebagai guru itu. Mereka tahu setelah melakukan pengecekan silang antara NUPTK (nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan) untuk guru dengan nomor induk dosen di Ditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud.
Setiap ditemukan adanya dosen yang rangkap jabatan sebagai guru, PDPT kampus bersangkutan langsung diblokir oleh Kemendikbud.
Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suwandi Hamid mengatakan, sanksi dari Kemendikbud itu memberatkan kampus. "Dalam kasus ini, dosennya yang salah. Tidak perlu sampai memblokir PDPT," kata Edy saat dihubungi kemarin.
Dia mengatakan, pemblokiran PDPT semakin menyulitkan PTS untuk melacak dosen-dosennya yang rangkap jabatan sebagai guru. Sebab jarang ada dosen yang mengaku terang-terangan merangkap jabatan sebagai guru. Selain itu Kemendikbud sampai sekarang juga tidak mau membeber data dosen yang rangkap jabatan itu kepada kampus masing-masing.
"PTS-PTS yang besar dan memiliki dosen banyak, tentu kesulitan untuk melacak satu persatu dosen yang juga memiliki NUPTK guru," kata dia.
Menurut dia, bentuk pemberian sanksi kepada dosen yang dobel ini harus dikaji ulang oleh Kemendikbud. Dia tidak mengelak bahwa penerbitan dosen-dosen yang mencari keuntungan dengan cara tidak fair harus ditindak tegas.
Dia mengatakan instruksi dari Kemendikbud sudah tegas. Yakni akan membuka lagi akses PDPT mereka, jika sudah membersihkan atau memberhentikan dosen yang rangkap jabatan itu. Edy mengatakan pemblokiran PDPT ini merugikan kampus secara kelembagaan dan dosen-dosen lain yang tidak rangkap jabatan sebagai guru.
"Analoginya sekarang adalah, apakah kalau ada satu pejabat Kemendikbud korupsi lantas menteri mau tanggung jawab dengan mengundurkan diri, misalnya. Tentu diserahkan ke masing-masing pejabatnya," papar dia. Edy menegaskan bahwa kondisi di lapangan pihak PTS secara kelembagaan tidak mengetahui jika ada dosennya yang juga memiliki NUPTK sebagai guru.
Persoalan ini sudah disampaikan jajaran Aptisi ke DPR. Dia menampik jika upaya ini justru negatif, karena menyeret urusan akademik ke ranah politik. Menurutnya DPR adalah lembaga untuk menyampaikan aspirasi. (wan/agm)