Puasa Menahan Hasrat Berlebih
Oleh Dr. Haedar Nashir*Kenapa di negeri ini masih banyak korupsi, padahal mereka rajin puasa, salat, haji, dan segala ritual ibadah lainnya? Korupsi dilakukan oleh mereka yang -selain beragama Islam- malah terbilang tokoh-tokoh Islam yang paham Islam luar-dalam dan setiap hari menyuarakan Islam.
Kenapa di negeri ini masih berseliweran sikap, perangai, dan ujaran-ujaran yang mengirim kegaduhan, amarah, kebencian, perseteruan, permusuhan, dan amuk massa atas nama Islam dan dilakukan oleh sosok-sosok yang semestinya menjadi teladan umat? Bahkan, berpolitik pun menjadi gaduh dan dibawa ke ranah pertentangan keras.
Bukankah di antara ciri orang bertakwa ialah mampu menahan marah dan memberi maaf kepada sesama (QS Ali Imran: 134-135). Bukankah Rasul bersabda, ketika ada orang yang mengajak bertengkar, jawablah inni shaimun, aku sedang berpuasa?
Maknanya, ada mekanisme pertahanan diri yang kukuh untuk tidak terjebak pada segala tingkah permusuhan. Apalagi sampai menciptakan suasana permusuhan, amarah massa, dan kegaduhan sosial hatta atas nama amar makruf nahi mungkar.
Mengapa ada sosok-sosok warga atau elite muslim yang setiap hari menghujat dan menghakimi saudara seiman dengan berbagai label buruk, tajassus (mencari-cari kesalahan orang), gibah (menggunjing aib pihak lain), dan merendahkan sesama padahal pada saat yang sama mengumandangkan ukhuwah dengan suara indah?
Hatta ketika dapat angin kuasa sesaat, justru yang mencuat arogansi diri dan kebanggaan akan golongan sendiri. Di mana letak nilai-nilai Islam yang berakhlak mulia, uswah hasanah, dan rahmatan lil alamin yang setiap hari disuarakan dengan dalil-dalil agama dan retorika indah? Telah bertakwakah orang yang berperangai demikian?
Sungguh sangatlah penting nilai-nilai puasa dan ibadah Ramadan ditransformasikan menjadi energi pencerahan yang menghadirkan Islam dan setiap insan muslim sebagai role model. Atau contoh utama dalam menyebarluaskan dan mewujudkan alam pikiran, sikap, dan tindakan yang sukses menahan segala hasrat duniawi yang berlebihan menjadi hidup qanaah dan tuma’ninah.
Seraya dengan itu secara pribadi maupun kolektif mewujudkan keteladanan hidup yang berkeadaban mulia dan rahmatan lil ‘alamin secara nyata dalam kehidupan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal! (***)