Pulang Kampung
Oleh Dahlan IskanDua hari sebelumnya sudah kumpul-kumpul bahan makanan. Yang bisa dimasak: ubi, pisang, uwi. Untuk direbus. Sebagai bekal ke kota.
Di hari yang diimpikan itu, jam habis asar berangkat. Ramai-ramai. Beberapa orang. Jalan kaki ke Madiun. Tanpa sepatu. Tanpa sandal. Berjam-jam. Menyusuri jalan-jalan tanah yang berlumpur. Kadang terjatuh ke lumpur itu.
Kini sepupu-sepupu saya tiap hari bisa ke Madiun. Dengan motornya. Di atas aspal. Hanya 15 menit ternyata.
Sepupu lain pun ramai nimbrung. Dengan topik yang sama. Terapi Choyang. Memujinya. Membenarkannya. Sahut-menyahut.
Mereka semua sangat menguasai topik ini. Semua berusaha menarik perhatian saya.
Ternyata ada 28 orang. Dari kampung saya saja. Yang tertarik ikut terapi Choyang. Dengan penyakit yang berbeda-beda.
Mungkin karena saya terlihat berminat pada topik itu. Lalu ada yang lari pulang: ambil brosur. Menyerahkannya ke saya. Judulnya ‘terapi gratis Choyang’.
Ada lagi yang juga lari pulang: mengambil sebagian peralatan terapi. Agar saya mencobanya. Tapi istri saya tidak rela: dia yang ingin lebih dulu mencobanya.