Pupuk Indonesia dapat Dukungan dan Kementerian BUMN untuk Pengembangan Amonia
Triharyo menuturkan salah satu poin penting yang hingga saat ini belum dilakukan yaitu, menjalin kerja sama dengan perusahaan bawah permukaan yang memiliki kapasitas reservoir (penyimpanan) CO2 untuk bisa sukses mengembangkan Amonia Biru dan Hijau.
“Kembali ke ketertarikan Pupuk Indonesia untuk mengembangkan amonia biru dan juga amonia hijau, saran saya tentang Kementerian ESDM, nomor satu, kalau ingin melakukan harus bekerja dengan perusahaan di bawah permukaan,” tutur Triharyo.
Tak hanya itu, Triharyo juga mengatakan bahwa diperlukan pemahaman tentang pasar karbon untuk mengembalikan sebagian biaya investasi CCS/CCUS Capex dan Opex, guna meningkatkan keekonomiannya.
“Kedua, Pupuk Indonesia harus menemukan dan mengembangkan pemasaran karbon sendiri. Anda sangat ahli menjual karbon sendiri, urea, amonia, dan membeli sulfur dan fosfat. Namun, harus mulai mengembangkan keahlian ekonomi karbon,” jelasnya.
Plt.Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian Ignatius Warsito mengungkapkan permintaan amonia global diprediksi mencapai 688 juta ton pada 2050. Jumlah ini meningkat tiga kali dibandingkan permintaan pada 2025.
“Biaya produksi amonia terbarukan untuk pabrik baru diperkirakan turun menjadi USD 310-610 per ton pada 2050. Saat ini, biaya produksi amonia berbahan dasar gas alam dan batu bara yaitu USD 110-340 per ton. Carbon Capture Storage (CCS) akan menambah biaya sebesar USD 100-150 per ton, sehingga biaya produksi rendah karbon berbasis fosil menjadi USD 210-490 per ton,” jelas Warsito.(mcr10/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru: