Rangkap Jabatan di BUMN Melanggar Etika Publik
jpnn.com, JAKARTA - Pidato Presiden Jokowi dalam sidang kabinet beberapa waktu lalu menjadi pembicaraan publik. Presiden melontarkan kekecewaan terhadap minimnya kesadaran krisis di dalam kabinetnya.
Di waktu yang sama Kementerian BUMN justru memunculkan polemik baru. Menurut temuan Ombudsman, terdapat sebanyak 564 jabatan yang melanggar kepantasan di BUMN. Dengan rincian 397 di BUMN, dan 167 di anak perusahaan BUMN.
Direktur Said Aqil Siroj Institute, M. Imdadun Rahmat turut mempersoalkan praktik tersebut. Ia menilai bahwa rapor tata kelola Kementerian BUMN tergolong merah.
Dalam keterangan kepada wartawan, Imdadun prihatin akan temuan pelanggaran berjumlah besar di kementerian ini.
"Lima ratus lebih temuan itu mengindikasikan parahnya keadaan. Kementerian BUMN itu membawahi aset negara yang bernilai sangat besar, perannya strategis, sebab melalui BUMN lah negara memenuhi hajat hidup orang banyak. Kalau tidak akuntabel bisa membahayakan negara".
Menurut mantan ketua Komnas HAM ini, rangkap jabatan sebanyak itu merupakan pemborosan uang negara. Negara akan kehilangan kemampuan memenuhi pelayanan dasar bagi rakyat jika ada inefisiensi. Dari sisi norma, hal ini merupakan pelanggaran kepantasan dan etika publik.
Larangan rangkap jabatan bermakna bahwa seorang pejabat dituntut fokus pada tanggungjawabnya. Dari sisi manajemen ini menunjukkan buruknya tata kelola. Sedangkan dari sisi fatsun politik, ini menandakan masih kuatnya budaya politik lama yakni politik dagang sapi.
Dalam situasi krisis akibat pandemi Covid 19 fenomena rangkap jabatan di BUMN berseberangan dengan semangat pidato Presiden. Orang nomor satu itu menghendaki adanya sense of crisis. Wujudnya penghematan, kerja cepat, fokus pada tanggungjawabnya, dan akuntabilitas.