Rapuh di Modal Sosial, Kuat di Tanaman Keras
Minggu, 24 Agustus 2008 – 22:55 WIB
Di India, social capital-nya kalah jauh. Wanitanya masih jauh tertinggal. Konflik antar keyakinan masih rawan. Bukan berarti India tidak punya kekuatan. Peradaban India juga sangat tua, termasuk dalam baca-tulis (perguruan tinggi pertama di dunia adalah di India). Hasil keseriusannya di bidang pendidikan kini sudah mulai berbuah. Hampir semua orang India bisa berbahasa Inggris, sesuatu yang belum terjadi di Tiongkok. Berkahnya: kini India menjadi negara No 1 di dunia dalam penerimaan hasil dari warga mereka yang bekerja di luar negeri. Tiongkok hanya nomor 3, jauh setelah Meksiko. Tahun lalu saja, TKI-nya (tenaga kerja India) mengirim uang ke kampung halamannya sebesar Rp 250 triliun! (USD 27 miliar). Maklum, tenaga kerja India adalah dari kalangan terdidik.
Memang, meski negara miskin, India sangat memperhatikan pendidikan. Sekolah negeri di sana belajar sampai pukul 4 sore (Sabtu-Minggu libur). Makan siang siswanya ditanggung negara (pemda), sedangkan biaya pendidikannya ditanggung pusat. Semua gratis: buku-buku, peralatan tulis, pakaian seragam tiga setel setahun, sepatu, dan fasilitas olahraga. Gurunya, meski gajinya rata-rata dengan di Indonesia, mendapat perumahan dengan listrik dan air dibayar negara.
Itulah hasil tanaman keras di India. Panennya lama (50 tahun), tapi begitu panen hasilnya banyak, tidak pernah berhenti dan tidak perlu menanam yang baru di setiap musim. Bukan saja uang dari TKI yang Rp 250 triliun itu akan terus meningkat (tiga tahun lalu baru separonya), tapi buah dari tanaman keras tersebut juga berupa kukuhnya fondasi kemajuan yang diraih sekarang. Dengan ’’tanaman keras’’ itu, India jadi punya modal sosial yang siap menjadi tonggak kemajuannya sekarang ini.
Di samping soal wanita, India juga masih punya persoalan besar dalam menyediakan social capital satu ini: sistem kasta di masyarakatnya. Sebagai negara demokrasi yang sudah berumur 60 tahun, ternyata India belum bisa menghilangkan nilai kekastaan itu. Bahkan, di bawah kasta keempat (Sudra), masih ada satu lapisan masyarakat lagi yang disebut ’’tidak berkasta’’. Itulah golongan yang kemudian disebut Dalit (mudah-mudahan kata tulalit tidak diambil dari sini), satu golongan yang tidak ada yang mau menyentuhnya. Karena itu, mereka itu juga disebut untouchable society. Mahatma Gandhi menghaluskannya dengan sebutan anak-anak Tuhan.
Akankah sistem demokrasi India, kalau terus konsisten, akan juga bisa menyelesaikannya? (bersambung)