Close Banner Apps JPNN.com
JPNN.com App
Aplikasi Berita Terbaru dan Terpopuler
Dapatkan di Play Store atau Apps Store
Download Apps JPNN.com

Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan

Oleh: Setyo Budiantoro?

Selasa, 17 September 2019 – 08:25 WIB
Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan - JPNN.COM
Setyo Budiantoro. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com - Indonesia kini berada dalam episode krusial sejarah menentukan masa depan, karena memiliki risiko kehilangan dua bonus demografi secara permanen akibat kondisi kesehatan yang buruk. Sangatlah tepat Presiden Joko Widodo bertekad mewujudkan sumber daya manusia sehat dan cerdas di pidato kenegaraan, namun ini bukan perkara mudah karena perubahan budaya dan tantangan ekonomi-politik mesti dihadapi. Memang benar terobosan, inovasi, strategi dan cara-cara baru diperlukan seperti disampaikan presiden, namun lebih dari itu keberanian politik juga sangat dibutuhkan.

Meski Indonesia akan masuk kategori negara upper-middle income country tahun depan, namun negeri ini masih menghadapi persoalan berat malnutrisi. Bahkan, Indonesia mungkin akan menjadi satu-satunya negara berpendapatan menengah atas yang masih mengalami persoalan gizi begitu buruk. Satu dari tiga balita di Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi secara kronis. Bahkan, di provinsi tertentu seperti Nusa Tenggara Timur sedemikian parah, hampir satu dari dua balita mengalami stunting.

Stunting bukan hanya masalah kesehatan, namun juga persoalan kemanusiaan. Malnutrisi di usia dini merampas masa depan manusia. Kekurangan gizi apalagi sejak di kandungan menyebabkan brain development terganggu. Lebih dari sejuta jaringan kompleks neuron yang membangun koneksi di otak setiap detik, menjadi bermasalah. Stunting membuat kemampuan otak berpikir maupun fisik manusia terhambat, serta rentan sakit.

Disebabkan brain development bermasalah, kemampuan sophistikasi untuk proses berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill) melalui loncatan listrik miliaran neuron dan triliunan koneksi sinapsis (sibernetika otak) menjadi bermasalah. Inilah mengapa penderita stunting sering disebut sebagai “generasi yang hilang” (lost generation) karena terancam memiliki masa depan suram disebabkan kemampuan berpikir lemah dan mudah sakit. Mengingat penderita stunting kebanyakan dari keluarga pendapatan terbawah, stunting juga berpotensi mengekalkan kemiskinan dan memperburuk kesenjangan akibat “terpelanting” dari kompetisi kehidupan.

Dua Bonus Demografi

Selain persoalan stunting, ada indikasi yang makin memperburuk keadaan. Kematian tragis lebih dari 500 orang petugas pemilu dan belasan ribu lainnya sakit terjadi merata di seluruh Indonesia, ini mengindikasikan status kesehatan buruk. Riwayat penyakit dan beban kerja sangat tinggi, ditemukan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Kesehatan menjadi kombinasi fatal penyebab kematian.

Kemenkes mengidentifikasi 13 riwayat penyakit penyebab kematian, diantaranya serangan jantung, gagal jantung, kegagalan organ hati, stroke, hipertensi emergency, respiratory failure, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan. UGM juga berkesimpulan problem kardiovaskuler, entah jantung, stroke atau gabungan dari jantung dan stroke menjadi penyebab kematian. Lebih mengejutkan lagi, rata-rata usia petugas pemilu yang meninggal relatif belum tua yaitu 43 tahun dan termuda 19 tahun.

Kematian petugas pemilu adalah fenomena gunung es status kesehatan Indonesia yang buruk. Penyakit penyebab kematian di Indonesia kini juga telah bergeser pada penyakit tidak menular. Lebih dari sekedar fiskal yang terancam “jebol” akibat menanggung biaya kesehatan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, angka kesakitan tinggi juga menyebabkan produktifitas dan daya saing bangsa terhambat.

Untuk kebutuhan nutrisi bagi masyarakat secara umum, Indonesia tidak memiliki panduan memilih makanan yang memadai. Panduan makanan justru berasal dari iklan, terutama televisi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News