Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Oleh: Setyo Budiantoro?Investasi nutrisi yang diberikan terutama pada 1.000 hari pertama sejak dikandung adalah kunci kehidupan manusia selanjutnya. Sebuah riset di Kopenhagen menyebutkan, dari setiap investasi nutrisi yang diberikan, maka “tingkat pengembalian” investasi mencapai 45 kali lipat. Peraih hadial Nobel ekonomi lain James Heckman, juga menyatakan hal yang kurang lebih sama. Semakin awal investasi pada usia dini, semakin tinggi tingkat pengembalian. Makin terlambat investasi manusia, makin rendah tingkat pengembalian. Artinya, bukan hanya soal moral dan kemanusiaan, investasi manusia dari awal juga sangat penting dalam pembangunan ekonomi.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana memberikan nutrisi yang baik pada keluarga yang miskin atau berpendapatan rendah. Penelitian lapangan penulis di beberapa desa di Jawa, membuat hati pedih. Sangat jamak dijumpai, selama beberapa minggu keluarga berpendapatan rendah seringkali tidak makan daging atau buah. Ini berarti, kemungkinan kualitas nutrisinya buruk.
Revolusi Nutrisi Ibu dan Balita
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tingkat stunting paling tinggi, namun provinsi tersebut berpotensi menjadi contoh intervensi mengatasi stunting yang efektif. Provinsi tersebut kini menggalakkan penanaman daun kelor untuk mengatasi stunting. Di beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin, sejalan saran badan kesehatan dunia (WHO), juga menjadikan kelor menjadi sarana mengatasi malnutrisi, karena sangat mudah ditanam dan memiliki kualitas nutrisi begitu hebat.
Esensi dari apa yang dilakukan NTT, perlu dilakukan pula di wilayah lain. Tumbuhan atau budidaya hewan yang telah ada di daerah tersebut dan bernutrisi tinggi, perlu dikembangkan menjadi konsumsi. Keluarga mendapat gizi yang baik dari pekarangan sendiri. Bahkan, ini perlu dimulai sebelum terjadinya pembentukan keluarga. Di Temanggung, pasangan yang akan menikah diwajibkan menebar benih ikan di sungai. Ini sangat baik, namun lebih baik lagi kalau ikan dipelihara sendiri.
Menanam kelor atau memelihara ikan, terutama di desa, perlu diwajibkan pada pasangan yang akan menikah. Tidak harus kelor sebenarnya, namun bisa tumbuhan lain yang bernilai gizi tinggi di daerah terkait dan cepat tumbuh. Ikan yang dipelihara juga ikan murah, gampang pemeliharaan, cepat berkembang biak namun bergizi tinggi, misalnya lele atau belut. Kedua ikan tersebut nilai nutrisinya tidak kalah dengan salmon. Belut gampang dibudidayakan, hanya butuh wadah drum atau terpal dan lumpur. Makanan yang diberikan hanyalah daun-daun kering dan sisa makanan rumah tangga.
Lele dan belut mempunyai nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. Nutrisi belut dinilai lebih tinggi dari telur atau susu sapi. Disamping lebih murah dan sehat, konsumsi ikan juga lebih ramah lingkungan karena berdampak emisi yang lebih rendah dari daging. Berdasar nilai protein yang sama didapatkan, daging sapi menghasilkan emisi 10 kali lebih besar dari ikan.
India melakukan “revolusi toilet” dengan mewajibkan pasangan yang akan menikah memiliki toilet. Indonesia perlu melakukan “revolusi nutrisi” dengan membudidayakan pangan bernutrisi di pekarangan sendiri. Ini berarti beberapa bulan setelah menikah, calon ibu sudah mendapat nutrisi yang baik untuk bayi dalam kandungan. Lalu, setelah melahirkan akan memberikan makanan bayi paling berkualitas, yaitu air susu ibu yang mencukupi. Dari sini, akan diperoleh bayi atau balita yang sehat dan cerdas karena mendapat kecukupan gizi paling tidak pada 1000 hari pertama.