Revolusi Kesehatan melalui Strategi Kebudayaan
Oleh: Setyo Budiantoro?Di beberapa negara maju, panduan nutrisi (star nutrition rating) pada produk makanan atau minuman dibuat dengan sangat mudah melalui tanda bintang. Tanpa perlu memeriksa nutrition facts yang rumit, konsumen hanya perlu melihat tanda bintang. Semakin banyak tanda bintang, artinya kandungan nutrisinya makin baik. Dampak pemberian tanda label bintang memang tidak sangat signifikan menaikkan penjualan makanan yang bernutrisi, misalnya di Amerika, namun konsumen cenderung menolak membeli produk makanan dengan jumlah bintang sedikit atau bernutrisi rendah.
Star nutrition rating perlu dipertimbangkan diterapkan di Indonesia, supaya panduan konsumen bukan hanya dari iklan (televisi) yang memang sekedar ditujukan meningkatkan penjualan dengan mencitrakan keunggulan. Selain itu, khusus untuk produk pangan yang difortifikasi perlu mendapat tanda bintang emas (gold star rating). Fortifikasi adalah metode menitipkan senyawa penting yang diperlukan manusia pada produk pangan untuk meningkatkan nilai gizi dan mengatasi hidden hunger.
Hidden hunger adalah bentuk kelaparan (defisiensi) zat mikro berupa kekurangan zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B. Hidden hunger memiliki dampak serius, karena tidak kelihatan dari luar namun begitu bermasalah karena membuat penderitanya mudah sakit. Fortifikasi adalah cara paling efisien dan efektif untuk menjangkau masalah hidden hunger pada masyarakat berpendapatan rendah, karena kurang mampu membeli makanan berkualitas dan variatif. Fortifikasi biasanya dilakukan pada produk yang paling banyak dikonsumsi masyarakat, misalnya minyak goreng (vitamin A) atau garam (yodium).
Panduan produk makanan yang ada selama ini hanyalah label “halal”, namun belum menyentuh pada kualitas makanan. Sistem star nutrition rating diharapkan akan mampu mendorong industri makanan memproduksi makanan yang sehat dan terjangkau. Di sisi lain, masyarakat juga perlu dipandu dan diarahkan untuk membudayakan mengkonsumsi makanan yang bernutrisi, sehingga akan lebih sehat dan produktif.
Budaya Mager
Di kalangan milenial, kini berkembang istilah mager atau malas gerak. Bukan hanya di milenial, istilah ini ternyata memang merepresentasikan budaya masyarakat pada umumnya. Dari analisis aplikasi pemantau aktivitas, penduduk paling malas bergerak sedunia adalah orang Indonesia. Rata-rata penduduk dunia berjalan kaki 5.000 langkah per hari, orang Indonesia hanya 3.513 langkah per hari.
Analisis tersebut juga menemukan, negara yang malas bergerak penduduknya maka cenderung besar pula tingkat obesitasnya. Meski obesitas pada anak belum sebanyak orang dewasa, namun perkembangannya begitu cepat dan mengkhawatirkan. Indonesia bersama China dan Brazil adalah negara-negara yang paling mengkhawatirkan karena kecepatan peningkatan anak obesitas mencapai tiga kali lipat. Secara paradoks, Indonesia kini mengalami double burden malnutrition yaitu malnutrisi karena kekurangan dan kelebihan gizi sekaligus. Kurangnya gerak dan kelebihan gizi adalah kombinasi sempurna timbulnya obesitas dan penyakit.
Memang belum ada riset secara khusus tentang dampak ekonomi budaya mager atau physical inactivity di Indonesia, namun berkaca dari riset ekstensif di dunia oleh Lancet dan secara khusus di Eropa melalui International Sport and Culture Association (ISCA), dampaknya sangat besar. Physical inactivity sangat berkorelasi dengan penyakit tidak menular antara lain jantung, stroke dan kanker. Inactivity berkontribusi menyebabkan 500 ribu kematian melalui kesakitan dan mempunyai dampak ekonomi lebih dari 1.200 triliun rupiah di Eropa.
Keaktifan bergerak memiliki dampak yang sangat besar, ini bisa dilihat negeri Belanda. Negara kincir angin mempunyai populasi sepeda melampaui jumlah penduduknya. Manfaat kesehatan aktif bersepeda di negeri kincir angin itu setara dengan 3 persen PDB, mencegah 6.500 kematian per tahun dan memperpanjang usia 1,5 tahun. Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengupayakan agar penduduk Indonesia lebih aktif bergerak.