Reza Indragiri, Master Langka Bidang Psikologi Forensik
Tak Butuh Empati, Curiga Jadi Senjata UtamaJumat, 08 Januari 2010 – 06:19 WIB
Lebih lanjut pria kelahiran 19 Desember 1974 itu menjelaskan, psikologi forensik tidak untuk menimbulkan empati. "Kalau begitu, bisa-bisa yang timbul adalah yang baik-baik," terang Reza. Sebaliknya, saat melakukan pemeriksaan atau observasi, dia datang untuk membuktikan bahwa sesuatu itu tidak benar. "Jadi, yang kita kedepankan adalah curiga," katanya.
Lulusan psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu menerangkan, psikologi forensik merupakan cabang ilmu psikologi yang membicarakan korban dan aktor kejahatan untuk kepentingan criminal justice system (penegakan hukum). Ilmu itu ada sejak 1901, ketika terbit buku On The Witness Stand. Buku ini menceritakan dinamika psikologis saksi ketika dihadirkan dalam persidangan.
Namun, oleh otoritas tertinggi psikologi, The American Psychological Association (APA), psikologi forensik baru diakui sebagai cabang ilmu tersendiri pada 1991. Meski demikian, untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia, penggunaan psikologi forensik masih sangat minim. "Selain itu, basis psikologi forensik secara keilmuan belum kuat sehingga kurang khas. Kalau (ilmu) psikologinya sudah diakui," ujarnya.