Rusia, Ukraina, dan Sepak Bola
Oleh: Dhimam Abror DjuraidKebencian dan persaingan diuangkan dengan menjual sponsorship kepada perusahaan multinasional, dan menjual berbagai pernik seperti jersei dan gantungan kunci kepada suporter.
Rivalitas dan kebencian sengaja dirawat karena dari situ keuntungan bisa dikeruk. Persaingan keras di antara suporter garis keras ultras di kedua pihak sengaja dilestarikan, bukan sekadar demi rivalitas, melainkan untuk meraup profit.
Globalisasi yang mengontaminasi sepak bola juga membuka ruang bagi kaum oportunis untuk menjadikannya alat efektif demi mencapai kepentingan politik. Berlusconi mendirikan partai politik Forza Italia dengan basis suporter AC Milan, dan berhasil menjadi perdana menteri pada 2001.
Franklin Foer menelusuri keterlibatan para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam konflik Serbia-Bosnia yang menjadi pendukung klub raksasa Serbia, Red Star Belgrade. Ia juga menyusuri rasisme sepak bola di Ukraina, serta fakta sejarah Zionisme yang bersinggungan dengan sepak bola.
Klub-klub besar yang berasosiasi dengan Yahudi adalah Ajax Amsterdam yang dimiliki oleh komunitas Yahudi, dan Tottenham Hotspur di Inggris yang dimiliki oleh pengusaha Yahudi, Daniel Levy.
Serbuan Rusia ke Ukraina akan membuat posisi Roman Abramovich dan Andriy Shevchenko serbasalah. Keduanya bersahabat akrab, tetapi dalam politik keduanya berseberangan.
Shevchenko menjadi pelatih Ukraina yang membuat sejarah dengan lolos ke perempat final turnamen Euro 2020, sebelum dihentikan oleh tim Inggris. Prestasi Ukraina lebih baik dari Rusia.
Semasa masih menjadi pemain, Shevchenko rela pindah dari AC Milan ke Chelsea demi Abramovich. Namun, di Chelsea Shevchenko seperti terkutuk dan menjadi flop. Mungkin, uang panas Abramovich yang membuat Shevchenko gagal bersinar. (*)