RUU KUHP Berikan Evaluasi Hukuman Mati
Minggu, 27 Juli 2008 – 08:03 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Soeripto mendukung hukuman mati bagi koruptor itu. ”Ini keadaan darurat dan hukuman mati mendesak dilakukan,” jelasnya.
Di samping segera mengimplementasikan hukuman mati, eksekusi bagi terpidana korupsi yang telah divonis juga harus disegerakan. UU telah menetapkan pelaksanaan eksekusi setelah vonis berkekuatan hukum tetap. Nah aturan itu harus ditambahkan ketentuan, misalnya, 40 hari harus dilaksanakan eksekusi mati tersebut. ”Jangan seperti sekarang 20 tahun baru dilaksanakan,” terangnya.
UU, kata Soeripto, juga harus bisa memilah hukuman mati bagi koruptor tersebut. Artinya, harus ada batasan kejahatan yang bisa dijatuhi hukuman mati tadi. ”Misalkan berapa banyak yang dirugikan akibat kejahatan tersebut,” tegasnya.
Dukungan terhadap hukuman mati juga diungkapkan pengamat hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Denny Indrayana. Dia merinci syarat-syarat bagi koruptor yang bisa di eksekusi mati.
Di antaranya, pelaku kejahatan adalah residivis yang telah melakukan berkali-kali melakukan kejahatan menggerus uang negara tersebut. Yang pasti, hukuman mati pantas bagi koruptor kambuhan. ”Apalagi keuangan yang dirugikan dalam jumlah besar,” tambahnya. Selain itu, ucap Denny, juga harus diukur perasaan masyarakat yang dirugikan. ”Kalau yang dikorupsi adalah dana penanggulangan bencana alam, tentu sangat pantas hukuman itu diterapkan,” tambahnya.
Selama ini, pasal 2 ayat 2 UU No 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi memungkinkan tuntutan hukuman mati dalam kasus korupsi. Namun dibatasi dalam kondisi tertentu, yakni menyangkut korupsi bantuan bencana alam.