RUU Perdagangan Hanya Timbulkan Pertentangan
jpnn.com - JAKARTA - Peneliti Indonesia For Global Justice (IGJ) Rahmi Ertanti menilai tak ada perubahan yang signifikan dalam draf RUU Perdagangan yang sebentar lagi akan disahkan oleh DPR. Alasannya, tak ada aturan yang tegas untuk mencegah liberalisasi perdagangan.
"Kami melihat (RUU Perdagangan-red) masih banyak mengacu pada perjanjian internasional yang telah terjadi," ujar Rahmi saat mengelar jumpa pers di Tebet Barat, Jakarta, Selasa (4/2).
Menurut dia, RUU Perdagangan ini hanya untuk melakukan antisipasi terhadap dampak buruk yang telah ditimbulkan dan mensinergikan agenda nasional dengan agenda liberalisasi perdagangan.
"Selama rezim pemerintahan SBY selalu membuat komitmen yang sangat tinggi dalam kebijakan perdagangan internasional, baik dalam APEC maupun WTO yang tahun lalu berlangsung. Semua ketentuan-ketentuannya tidak boleh melanggar perjanjian WTO, itu komitmen sudah lama diikatkan Indonesia. Semua sudah diatur dalam WTO hanya tinggal diadobsi dalam UU ini," papar dia.
Lebih lanjut dia tegaskan bahwa RUU Perdagangan bukanlah kebijakan untuk mengoreksi rezim perdagangan bebas, RUU ini hanya bersifat antisipasi.
"Kalau memang DPR dan pemerintah mengklaim RUU ini mampu melindungi kepentingan nasional, kami melihat RUU perdagangan hanya akan menimbulkan pertentangan dengan ketentuan yang ada," bebernya.
Rahmi juga mempertanyakan, jika RUU Perdagangan hendak memperkuat sektor hulu hilir Indonesia harusnya dijelaskan siapa pelaku dan aktor utama yang akan bergerak di sektor hulu dan hilir. Sebab, kebijakan perjanjian internasional tidak boleh menimbulkan diskriminasi.
"Jika sektor hulu hilir masih dipegang asing, maka kami nyatakan itu tetap akan menimbulkan diskriminasi. RUU perdagangan tidak hanya bicara perdagangan barang, tetapi juga jasa, investasi. Komitmen pemerintah, pembangunan industrialisasi, tetap akan sulit. Selama tidak ada transfer teknologi," pungkasnya.