Saatnya Memikirkan Ulang Pendidikan Pariwisata Kita
Oleh: M Hasannudin Wahidjpnn.com - Pariwisata telah menjadi salah satu kegiatan ekonomi utama di abad ke-21 ini. Di Indonesia sendiri, selama periode 2010-2019, industri pariwisata telah tumbuh rata-rata sekitar 20 persen.
Pertumbuhan bisnis pariwasata memicu tumbuhnya lembaga pendidikan kejuruan pariwsata, baik di tingkat pendidikan menengah (SMK) maupun di tingkat perguruan tinggi: akademi dan sekolah tinggi, dan program studi.
Hingga kini, sifat dari pendidikan pariwisata Indonesia masih didominasi pedagogi pariwisata, menekankan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan dan keuntungan finansial bisnis pariwisata. Hal ini membuat pendidikan pariwisata rentan terhadap manipulasi sosial oleh kekuatan industri pariwisata.
Meski demikian, para pengambill kebijakan, pendidik dan pengembang kurikulum pendidikan pariwisata sendiri masih saja merasa nyaman. Mereka masih saja berkutat mendiskusikan perihal dikotomi dan keseimbangan antara pembelajaran yang kejuruan dan yang akademis dalam struktur kurikulum, dan bagaimana mengoperasikannya secara efektif dan efisien.
Belum pernah terdengar ada diskusi mengenai nilai-nilai dalam pembelajaran untuk mencegah atau pun meredam dampak pariwisata yang tidak berwujud. Belum pula kelihatan upaya nyata untuk menghasilkan lulusan pariwisata yang memiliki moralitas tinggi, kepemimpinan, kemampuan reflektif dan berpikir kritis.
Semua masih fokus pada pengasahan keterampilan dan pengetahuan, memenuhi amanat UU Sisdiknas No.20 Tahun 2002 yang menekan pendidikan berbasis kompetensi.
Perspektif Sosiologis dan Filosofis
Memang, pengetahuan teknis dan keterampilan kejuruan penting untuk berfungsi di dunia neo-liberalis. Namun, itu tampaknya tidak lagi memadai untuk menangani masalah industri pariwisata yang mendesak di abad ke-21 ini.