Saatnya Memikirkan Ulang Pendidikan Pariwisata Kita
Oleh: M Hasannudin WahidPariwisata abad ini telah diwarnai oleh masalah yang sangat kompleks. Mulai dari degradasi ekosistem, perubahan iklim, kunjungan wisata yang berlebihan, praktik bisnis yang tidak etis, pengingkaran martabat manusia dan budaya lokal, ketidaksetaraan gender dan prostitusi, ancaman keselamatan dan keamanan akibat terorisme, hingga serangan pandemi seperti Covid-19.
Berhadapan dengan realitas pariwisata sangat kompleks demikian, pendidikan pariwisata, harus menggunakan perspektif filosofis dan sosiologis. Pendidikan pariwisata harus melampaui dikotomi kejuruan dan akademis, lalu beralih ke wawasan luas dan pemahaman mendalam mengenai ilmu-ilmu humaniora: mempelajari cara mengangkat manusia menjadi lebih manusiawi dan berbudaya.
Pendidikan pariwisata harus tanggap pada sifat pariwisata yang kompleks dan lintas-disiplin. Ia juga harus menyesuaikan diri dengan konsep baru pembangunan industri pariwisata yang bersifat transformasional, yaitu membawa hasil positif bagi peradaban manusia: mengembangkan kebudayaan dan melestarikan lingkungan alam.
Oleh karena itu, pendidikan pariwisata harus meninggalkan pendekatan dan orientasi ontologis industri pariwisata yang neo-kolonial, pasar-sentris, dan money-oriented. Ia juga harus segera beralih ke pendekatan dan orientasi ontologis yang lebih humanistik dan holistis yang dilandasi oleh nilai-nilai dan didorong oleh kewajiban moral dan etika.
Pendidikan pariwisata harus mulai membiasakan para siswa untuk berpikir kritis dan reflektif menggunakan pendekatan filosofis dan sosiologis. Tujuannya supaya ketika lulus dari sekolah, mereka menjadi insan pariwisata yang mampu memeriksa secara kritis dan mencari solusi atas masalah epistemologis di balik krisis moral-etis, krisis sosial-budaya dan krisis ekologis yang mungkin ditimbulkan oleh pariwisata.
Ideologi Sosial vs Ideologi Pariwisata
Tak dapat dipungkiri, belakangan ini muncul aksi protes masyarakat di sejumlah pusat pariwisata atau destinasi-destinasi wisata baru.
Hasil studi Barkathunnisha (2020) menyatakan, sering kali pemerintah, komunitas investor dan para pelaku industri pariwisata menilai aksi-aksi protes masyarakat secara keliru. Mereka cenderung menilai aksi protes warga lokal sebagai ekspresi ketakberdayaan ekonomis.