Safari Djauhari
Oleh: Dahlan Iskan"Hari ini saya masih di Shanghai," ujar Pak Dubes.
Saya tahu pak Djauhari ini aktif sekali. Kinerjanya dipuji banyak orang. Ia juga bangga bahwa pengusaha Indonesia kini sudah memproduksi tempe di Shanghai.
"Kalau begitu, biar didampingi Pak wakil duta besar," ujar Pak Djauhari.
Kebetulan Senin siang itu saya lagi dalam perjalanan dari Nanjing ke Beijing. Saya perkirakan pukul 13.30 sudah bisa tiba di Beijing. Dengan kereta cepat, jarak Nanjing-Beijing yang 1.200 km bisa ditempuh dalam 3,5 jam.
Untuk jarak sejauh itu keretanya hanya berhenti satu kali: di Jinan, ibu kota provinsi Shandong. Kecepatannya 350 km/jam. Maka saya anggukkan untuk ke Kedubes di jam berbuka puasa.
Beijing sudah kembali macet. Pekan lalu aturan pakai masker masih berlaku di kereta bawah tanahnya, padahal di Shanghai, seperti ketika saya naik dari Hongjiao ke hotel saya di Xin Tian Di, sudah banyak yang lepas masker.
Senin kemarin Beijing juga berubah. Ketika saya kembali dari Nanjing itu, aturan wajib masker sudah dicabut. Hanya saja, saya lihat, baru 20 persen yang "berani" lepas masker, padahal tidak ditegur lagi oleh petugas.
Saya pun tidak pakai masker. Lalu saya duduk di satu kursi kosong. Kanan kiri saya masih pakai masker.