Safari Tsinghua
Oleh: Dahlan IskanSaya memanggil Benny dengan panggilan Xiao Huang. Dik Huang. Marganya memang Huang. Masih mempertahankan tetap bujangan tanpa pacar. Maka Xiao Huang pun jadi rebutan: di-bully teman-temannya. Ia cuek. Terus tersenyum.
Xiao Huang berkeinginan untuk bekerja dulu setelah menjadi doktor otomotif. Di luar negeri. Setidaknya dua tahun. Setelah itu ia ingin bisnis. Ingin merintis sesuatu yang baru untuk Indonesia.
Selama makan malam kami ngobrol. Dialog. Banyak pertanyaan. Dua mahasiswa asal Surabaya. Empat dari Tangerang. Dari Purwokerto. Dari Pontianak. Pekanbaru. Dari Kalsel. Kami lebih banyak ngobrol dalam bahasa Mandarin.
Mayoritas 20 orang itu Tionghoa. Sudah punya modal bahasa Mandarin sebelum ke Tsinghua. Bahkan yang dua orang sekolah SMA-nyi di Hangzhou.
Kini ada 75 orang mahasiswa Indonesia di Tsinghua. Tiap tahun jumlahnya terus meningkat. Ini menandakan kepintaran anak-anak Indonesia kian diakui. Tsinghua adalah universitas ranking 14 di dunia. Pejabat tinggi Tiongkok umumnya lulusan Tsinghua.
"Anda-Anda ini orang pilihan. Banyak mahasiswa Tiongkok sendiri hanya bisa mimpi untuk masuk Tsinghua," ujar teman saya dari Beijing yang saya ajak buka puasa. Mereka pun tepuk tangan. Saya bangga melihat antusiasme mereka untuk menjadi alumni Tsinghua.
Saya tiba satu jam lebih awal dari jadwal buka puasa. Saya ingin diajak keliling kampus. Saya begitu ingin melihat kebesaran nama universitas ini. Memang ini kali pertama saya ke Tsinghua.
"Mau naik sepeda atau motor listrik?" tanya Lutfiya. "Jalan kaki saja," jawab saya.
"Kuat?"