Salah Penanganan, Anak Korban Seksual Bisa jadi Pedofil
Cegah Anak Tumbuh ApatisANCAMAN kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak wajib diwaspadai oleh para orangtua. Seperti tragedi yang menimpa seorang bocah berinisial M (berusia 6 tahun) yang menjadi korban sodomi di sekolahnya oleh pegawai cleaning service. Seharusnya, sekolah menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk anak-anak. Apalagi sekolah bertaraf internasional.
Pengamat Sosiolog Univeristas Indonesia (UI), Devi Rahmawati menyebutkan, munculnya tindakan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang masuk ke tanah air. Seperti unsur dalam film dan lain sebagainya.
Mayoritas, kata dia juga, tindakan pelecehan yang dialami anak itu bukannya hanya dilakukan remaja, orang dewasa, tetapi juga kakek-kakek. Tindakan itu termasuk fase yang kritis atau melanggar HAM berat.
”Ini bukan hanya pidana, tapi HAM berat. Anak dalam pembinaan harusnya dilindungi, bukan dilecehkan,” terangnya kepada INDOPOS (Grup JPNN), kemarin (16/4).
Selain unsur budaya, sambung Devi, sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual pada anak dan membawa pelakunya ke meja hijau diduga karena ’otoritas sosial’ para pelaku lebih tinggi daripada korban.
Ditambah dengan lemahnya sistem perundangan untuk menjerat pelaku. Kekhawatiran bakal tidak dipercaya, menjadi kendala pengungkapan kasus kekerasan seksual dengan pelaku sedarah sering terjadi. Apalagi kekerasan seksual di lingkungan keluarga atau asrama sekolah cenderung tanpa saksi mata.
”Keterangan korban di bawah umur tidak bisa diakui dalam sistem perundangan kita. Pelaku umumnya memiliki otoritas lebih tinggi ketimbang korban sehingga korban memilih diam. Pelakunya bisa guru, ayah, atau kakak tiri atau orang lain. Untuk mengungkap, para penyidik biasanya mengandalkan hasil riset laboratorium dan kepiawaian para ilmuwan meyakinkan majelis hakim,” ujar juga.
Sedangkan, Pangamat Psikologi Universitas Indonesia (UI), Fitriani F Syahrul menegaskan penyimpangan sosial yang bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan rusaknya pola pikir para pelaku pelecehan terhadap anak-anak. Sedangkan kasus perceraian juga menjadi faktor lain penyebab perkosaan di dalam keluarga.
Belum lagi, anak-anak cenderung menelan mentah-mentah ’doktrin’ untuk patuh kepada orang tua. ”Bisa saja pelaku frustrasi dengan kehidupannya sendiri, kemudian mencari pelampiasan kepada orang lain. Bahkan bisa anggota keluarga jadi target. Kata-kata ’nurut orang tua’ ini jadi soft terror. Nah ini yang tidak disadari secara langsung dan membuat pelecehan seksual terhadap anak-anak terjadi,” paparnya.
Fitriani juga menjelaskan, dampak psikologis pada korban anak-anak biasanya tidak berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Para korban pelecehan seksual itu cenderung tertutup, sulit beradaptasi, bermuatan energi negatif dan sensitif. Selain karakteristik kepribadian, jenis pelecehan seksual yang dialami juga memberikan dampak yang berbeda.
Seperti pelecehan fisik biasanya meninggalkan trauma yang lebih besar dibandingkan kekerasan pelecehan verbal. Selain itu, frekuensi dan durasi terjadinya pelecehan seksual juga berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan ketika sang anak besar nanti. Semakin sering frekuensinya, atau semakin lama durasinya, maka trauma yang ditimbulkan pada anak juga semakin besar.
Semakin besar trauma yang ditimbulkan, maka semakin panjang waktu pemulihan yang dibutuhkan.