Satu Sekuel Peristiwa 3 Juli 1946
Masa itu, para politisi Indonesia terbelah dua. Sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tapi, beda jurus. Ada yang berdiplomasi, ada yang anti-diplomasi.
Kelompok pertama, "mereka yang mendukung langkah diplomasi dengan Belanda, seperti Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, Perdana Menteri Sjahrir, dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifudin, tulis Yuanda.
Kelompok kedua, mengusung slogan merdeka 100 persen. "Tokoh-tokohnya tak kalah berpengaruh, di antaranya Tan Malaka, Iwa Kusuma Sumantri, dan Chaerul Saleh," sambung Yuanda.
Dan rupanya, "Panglima Besar Jenderal Sudirman juga menunjukkan dukungannya kepada kelompok kedua ini," tulis Roeslan Abdulgani dkk dalam Soedirman-Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan.
Narasi ini kembali dikutip S.I. Poeradisastra dalam Hubungan Panglima Besar Soedirman dengan Persatuan Perjuangan; Suatu Percobaan Rekonstruksi Latar Belakang Peristiwa 3 Juli 1946, dan dicuplik lagi oleh Yuanda.
Meski disebut-sebut sebagai dalang di balik aksi itu, Tan Malaka tak dihadirkan ketika sidang mulai digelar.
Harry Poeze, si peneliti Tan Malaka menduga, "barangkali ditakutkan akan dipakai sebagai wahana propaganda oleh Tan Malaka…yang tentunya akan dipaparkannya berapi-api, sehingga suasana akan bisa menjadi semakin panas." Ini termuat dalam buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3.
Ungkapan Tan Malaka yang melegenda tentang situasi tersebut, "tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya." (wow/jpnn)