'Saya di Sini Senang-senang, yang ke Sana Menderita'
’’SMK di sini jauh lebih lengkap daripada di sana,’’ paparnya. Sebagai gambaran, setelah tiga tahun dibuka, jurusan otomatif di sekolahnya baru memiliki tiga motor untuk praktik. Sampai sekarang, dia juga belum berani membuka jurusan kontruksi bangunan. Dia baru sebatas membuka jurusan teknik gambar bangunan.
’’Kenapa gambar? Karena praktiknya lebih murah. Kalau kontruksi prakteknya kan mahal,’’ tuturnya.
Di sekolahnya, tidak ada SPP. ’’Ini imbas politik yang selalu menyebut sekolah gratis saat kampanye. Sehingga begitu ada pungutan sedikit saja, langsung disemprit kepala daerah. Jadi sekolah tak berani mungut,’’ ungkapnya.
Untuk biaya, selama ini dipenuhi dari dana BOS Pusat sebesar Rp 1,5 juta per tahun per siswa. Serta dana BOS dari Pemkab sebesar Rp 40 ribu per siswa per bulan. ’’ Jumlah total siswa saya ada 500 anak,’’ ucapnya.
Karena minim dana, akhirnya tidak banyak pengembangan yang bisa dilakukan. ’’Kalau mau prakerin (praktik kerja industri) dan uji kompetensi yang wajib, kita kumpulkan orang tua. Kita sampaikan, biaya dari Pemkab sekian, sisanya ortu sekian,’’ bebernya.Jika tidak demikian, orang tua protes.
’’Selama di sini, saya beberapa kali ikut kunjungan industri dengan siswa kelas X. Disana, ini tak bisa dilakukan karena terkendala biaya,’’ ucapnya. Padahal dengan SPP Rp 150 ribu per bulan, siswa SMAN 1 Sooko sudah bisa mengikuti kunjungan industri dan prakerin. Dari SPP itu juga ada yang disisihkan untuk koperasi dan bank mini yang bisa diambil saat lulus.
Sejak 12 Desember lalu, Ramli mengaku sempat menemani siswa kunjungan industri ke PT Indofood dan Batik Cahaya di Pasuruan. Alfamart dan Ines Kosmetik serta Damma TV di Malang. Semua itu menurutnya sangat bermanfaat.
’’Mudah-mudahan ketika tahun depan SMK diambil alih provinsi, kita bisa sebanyak-banyaknya meniru yang ada disini. Sebab dari sini, saya banyak belajar. Namun aplikasinya tergantung ketersediaan anggaran,’’ paparnya.