Sekolah Lima Hari, PGRI Khawatir Berdampak Buruk ke Siswa
jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan lima hari sekolah.
Bila persiapannya tidak matang, dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi jalannya pendidikan.
"Kami memahami niat baik pemerintah sebagai upaya untuk menjaga , menunbuhkan , dan menanamkan karakter peserta didik agar menjadi pribadi-pribadi yang dinamis serta matang. Namun, lima hari berada di sekolah tanpa dipersiapkan secara matang menimbulkan reaksi yang beragam dan cenderung tidak positif," kata Ketum PB PGRI Unifah Rosyidi dalam pernyataan resminya, Selasa (13/6).
Dia menyebutkan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam penerapan sekolah lima hari.
Pertama, pemerintah sebaiknya membentuk tim khusus untuk mendialogkan secara serius kebijakan ini dengan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan berbagai pihak yang relevan.
Kedua, pemerintah menyiapkan guideline saja. Selanjutnya implementasinya serahkan kepada pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu, paling mengerti, dan paling memahami kondisi daerah masing-masing.
"Pemerintah pusat sebaiknya berperan sebagai enabler/ fasilitator yang menetapkan kebijakan besar dan umum , serta melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program tersebut. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU bahwa pendidikan telah didesentralisasi kepada daerah," terangnya.
Ketiga, mengajak dialog secara khusus dengan penyelenggara sekolah berbasis agama (khususnya Madrasah) yang telah menyelenggarakan pendidikan pada siang hari selepas sekolah umum.
"Mereka ini dipercaya masyarakat sebagai sekolah yang menekankan pada mengajarkan moral, religiusitas, dan sarat dengan pendidikan karakter. Jangan sampai sekolah yang sudah ada sejak turun temurun dan telah dipercaya masyarakat ini merasa menjadi korban kebijakan sekolah lima hari ini," ucapnya.