Semula Hanya Lulus SD, Kini Ada Yang Kuliah
Anak-anak yang mau menempuh pendidikan kebanyakan justru perempuan. Itu pun paling tinggi hanya SMP. Setelah itu mereka ikut orang tua menjadi pemulung.
Anak laki-laki umumnya hanya lulusan SD. Bahkan, beberapa anak tidak sampai tamat dan memilih menjadi pemungut sampah. Anak-anak itu terbiasa mencari uang guna memenuhi kebutuhan sesaat dan sering tidak penting. Misalnya, untuk merokok atau minum minuman keras.
Sedikit dari anak-anak itu yang punya pemikiran untuk mengumpulkan sebagian uang hasil memulung untuk biaya pendidikan ke depan. "Kondisi ini juga kurang mendapat perhatian dari lingkungan sekitar mereka," papar Barlian ketika dihubungi Minggu lalu.
Berdasar kenyataan seperti itu, kelompok mahasiswa UI itu lalu melanjutkan pendampingan dengan semakin sering menyelenggarakan kegiatan di Bantar Gebang. Bahkan, setiap minggu mereka berusaha mengunjungi anak-anak asuh mereka.
"Setiap Sabtu kami bergantian datang untuk memberikan pendampingan," lanjut pemilik akun Twitter @barli_toro itu. "Kami memanfaatkan kelas belajar di Sekolah Alam Tunas Mulia untuk mengajak anak-anak itu belajar kembali," tambah pemuda kelahiran 10 Juli 1992 tersebut. Apalagi, selama ini Sekolah Alam Tunas Mulia sudah memberikan pendidikan kejar (kelompok belajar) paket B dan C bagi anak-anak Bantar Gebang.
Barlian mengatakan, untuk memecahkan persoalan pendidikan anak-anak di Bantar Gebang diperlukan pendekatan yang lebih personal. Tujuannya agar lebih mudah membawa anak-anak itu pada pola pikir yang lebih luas. Untuk itu, kegiatan setiap minggu dibuat bervariasi.
Barlian pernah mengajari anak-anak dengan games "Pohon Mimpi". Setiap peserta diminta menuliskan cita-citanya di kertas. Minggu berikutnya games dilanjutkan dengan meminta anak-anak mewujudkan impiannya tersebut.
"Misalnya, ada anak yang bercita-cita menjadi guru. Pada pertemuan minggu berikutnya anak itu kami minta menjadi guru sungguhan. Dia harus menerangkan sesuatu kepada teman-temannya di depan kelas," ujarnya.