Setelah Emas Hitam Tinggal Hitamnya
Oleh Dahlan Iskanjpnn.com - SIAPAKAH yang terpukul atas turunnya harga minyak mentah yang begitu drastis?
Pertama, pengusaha batu bara. Harga emas hitam ini hilang emasnya, tinggal hitamnya. Tapi, ini hanya soal roda yang memang harus berputar saja. Kali ini lagi di bawah. Setelah sangat lama berada di atas.
Kedua, green energy. Ketika harga minyak sangat tinggi, green energy dapat angin. Didorong, digairahkan, dipermudah, diberi insentif, dan bahkan diberi subsidi. Green energy ibarat tanaman yang baru disemai langsung terkena gerhana.
Nasib bisnis energi terbarukan berada di bibir jurang. Ketika harga minyak mentah mencapai USD 100 per barel, pun harga listrik dari renewable energy masih lebih mahal. Sedikit. Khususnya tenaga matahari atau tenaga angin atau biogas atau biodiesel atau biomass. Termasuk proyek tanaman kaliandra merah saya.
Bayangkan dengan harga baru minyak mentah yang tinggal USD 30 per barel. Betapa green energy itu jauh, jauh, jauh lebih mahalnya. Pabrik-pabrik solar cell di Tiongkok terpukul habis. Sudah berteriak minta diselamatkan. Atau bangkrut. Sudah tidak kuat lagi.
Begitu tiba di Beijing kemarin saya langsung mendapat suguhan berita sedih itu. Padahal, Tiongkok-lah pembuat solar cell terbesar di dunia. Juga menguasai pasar global. Dengan harga murahnya. Sampai-sampai tiga perusahaan solar cell terbesar di Amerika mengakhiri hidupnya.
Dukungan riset di solar cell memang belum memuaskan. Efisiensi penyerapan energi mataharinya tidak kunjung membaik. Lima belas tahun terakhir tidak ada kemajuan. Efisiensinya masih mentok di angka 18 persen.
Demikian juga kemajuan teknologi baterai. Masih mentok di capaian baterai litium. Belum ada temuan yang lebih hebat dari itu di pasaran. Semua harapan baru masih di skala lab. Padahal, baterai menjadi andalan untuk mendukung tenaga matahari maupun angin.