Setiap Kali Jafro Megawanto Bertanding, Ibunya Berpuasa
Pria berusia 63 tahun tersebut menceritakan, sejak kecil Jafro senang dengan paralayang. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, anaknya itu sudah sering main ke landing paralayang.
”Dulu ya seneng main ke sana (landing paralayang di Gunung Banyak). Lalu, jadi tukang lipat parasutnya. Diberi upah Rp 5 ribu, ya sudah senang sekali,” kata Sutrisno yang sehari-hari menjadi petani tersebut.
Dari situlah, perkenalan dengan paralayang dimulai. ”Ya, tidak menduga kalau jadi seperti sekarang ini. Karena untuk menjadi atlet paralayang kan tidak sembarangan. Butuh uang dan keberanian,” kata dia sambil terkekeh.
Penghasilannya sebagai petani dan pemerah susu tidak cukup untuk membiayai Jafro. Jangankan membeli parasut yang harganya mencapai jutaan rupiah, untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan tabungan pendidikan Jafro saja terkadang kurang.
Tapi, Jafro punya keberanian dan sudah cukup tahu tentang dunia paralayang. Potensi alamiah dari kebiasaannya melihat atlet paralayang latihan dan menjadi pelipat parasut inilah akhirnya diketahui para pencinta paralayang lainnya yang lebih senior. ”Ada namanya Pak Yossy yang mencari atlet paralayang saat itu,” kata dia.
Dari situlah, dia mulai latihan dan dipinjami parasut. Tapi, saat sudah senang dengan olahraga yang berisiko ini, Jafro harus berjuang sendirian. ”Karena ditinggal pindah Pak Yossy ke luar negeri. Padahal, dulu kalau ada event, kami dibayari,” kata Sutrisno sambil sesekali mengisap rokok.
Jafro juga tidak mau menyerah. Untuk latihan paralayang, dia terpaksa pinjam parasut kepada teman-temannya. ”Untungnya, prinsip saya itu harus ada tabungan dari panen, jadi sebagian uang tersebut untuk dia ikut event,” kata dia.
Mengetahui anaknya gemar olahraga berisiko, ibunya, Suliasih, selalu berpuasa. ”Setiap akan mengikuti kompetisi (paralayang), ibunya selalu berpuasa. Di Asian Games ini malah sering (berpuasa),” katanya.