Sipil dan Militer Tidak Sejalan
jpnn.com - Oleh Hironimus Hilapok
Penulis adalah Direktur Papua Circle Institute
Penembakan terjadi lagi di Kabupaten Deiyai Provinsi Papua tanggal 1 Agustus 2017. Insiden tersebut terjadi saat bangsa Indonesia akan merayakan kemerdekaannya ke-72 tahun. Laporan terakhir menyebutkan total korban ada 17 orang; 1 orang meninggal, 6 orang dirawat di RS Paniai, 3 dirawat di Puskesmas Tendage Deiyai, dan 7 luka ringan dirawat oleh keluarganya di rumah.
Haruskah pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dibayar dengan darah? Apa yang salah dengan Papua? Apakah di Papua ada 2 pemerintahan, baik sipil maupun militer?
Haruskah Pembangunan dibayar dengan darah?
Sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945, ada 4 tugas pokok negara yang wajib dilakukan yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Empat tugas pokok ini sifatnya wajib dilakukan oleh negara dalam segala kebijakannya.
Pergolakan yang terjadi sehingga melahirkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga dilatarbelakangi oleh gagalnya pemerintah mensejahterakan masyarakat Papua, tidak mencerdaskan kehidupan orang Papua dan tidak ada perlindungan bagi orang Papua.
Pemerintahan Jokowi-JK semakin giat melakukan gebrakan pembangunan di Tanah Papua. Hal itu mulai terasa dampaknya walaupun belum sebaik yang diharapkan. Katakanlah dari sisi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dari presiden ke presiden, persoalan HAM memang menjadi persoalan yang belum disentuh apalagi diselesaikan. Luka yang mendalam bagi orang Papua belum sembuh, masih membekas (Memoria Passionis) sekarang luka itu terjadi lagi, tidak pernah sembuh.