Sisi Jelek Transfer Caleg
Oleh Zaenal A Budiyono*Fenomena transfer politisi di Indonesia sekarang pun tidak hanya menyedihkan, tapi juga mengancam konsolidasi demokrasi itu sendiri. Walaupun bukan gejala baru, perpindahan politisi dari satu partai ke parpol lainnya akhir-akhir ini mengusik keingintahuan publik.
Sebelumnya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan mengungkap adanya aroma uang di balik hengkangnya salah satu legislatornya ke Partai NasDem. Tapi itu tidak hanya terjadi di PAN.
Publik pun bertanya: apa benar kita sudah punya parpol? Atau, jangan-jangan parpol yang ada saat ini hanya organisasi massa tanpa tujuan dan ideologi tertentu.
Setidaknya ada tiga hal negatif dari transfer politisi. Pertama, terjadinya pendangkalan ideologi parpol.
Bagaimanapun ideologi sangat penting bagi partai karena itu pula yang membedakannya dari parpol atau organisasi lainnya. Kalau politisi secara mudah loncat pagar, patut diduga tidak terjadi internalisasi dan ideologisasi saat masih berada di partai asalnya. Ini tentu berbahaya karena yang lahir adalah politisi kanan kiri OK yang tidak paham politik.
Kedua, fenomena ini merupakan autokritik bagi partai karena kegagalan mereka melakukan pendidikan politik dan kaderisasi. Jika dua fungsi itu berjalan, maka tak perlu mendatangkan "pemain asing" untuk mengatrol imaji partai dan merebut suara.
Ketiga, high cost politics tampaknya menjadi tantangan bagi para caleg sehingga mereka yang berambisi ke Senayan namun tidak kuat scara finansial memilih jalur transfer. Dalam jangka panjang, praktik itu akan merusak tatanan demokrasi.
Untuk solusi ke depan, perlu aturan baru dalam bentuk undang-undang yang bisa secara efektif menekan biaya politik. Karena mutiara-mutiara yang cemerlang akan layu kalau handicap finansial terus jad kendala.