Sistem E-Court di Peradilan Dianggap Masih Memiliki Celah yang Merugikan
jpnn.com, JAKARTA - Praktisi hukum Clara Viriya menilai e-Court peradilan Indonesia masih memiliki lubang besar yang dapat menimbulkan kerugian fundamental bagi pencari keadilan.
Meski sistem tersebut sudah memudahkan para pihak dalam mengakses informasi perkara, tetapi harus ada evaluasi.
“Khususnya pencari keadilan yang memiliki keperluan mengajukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan tingkat pertama via e-Court,” kata Clara dalam keterangannya, Senin (15/5).
Dia mengungkapkan ada pihak yang mengalami langsung bentuk kerugian tersebut. Di mana pengajuan banding tidak dapat diterima dengan diputus N.O (niet ontvankelijke verklaard) atau putusan yang menyatakan gugatan cacat formal dengan alasan pendaftaran dilakukan melampaui batas waktu pengajuan banding.
“Padahal, sesuai dengan keterangan, peraturan dan dokumen yang ditunjukkan oleh narasumber, pendaftaran banding via e-Court tersebut dilakukan masih dalam kurun waktu 14 hari kalender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangnya, atau lebih tepatnya di hari terakhir periode 14 hari kalender tersebut,” jelas Clara.
Dia mengungkapkan setelah dilakukan penelusuran peraturan dan praktis di lapangan, ditemukan fakta yang patut diduga menjadi hulu permasalahan tersebut.
Dengan adanya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 363/KMA/SK/XII/2022 Tentang Petunjuk Teknis Administrasi Dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik (SK e-Court) yang salah satunya memuat frasa: pendaftaran perkara secara elektronik yang dilakukan di luar jam yang ditentukan pada angka 13 akan diproses pada hari kerja berikutnya. Hal itu diduga membuat adanya kerugian.
Clara juga menyebut ditambah dengan fungsi otomatisasi e-Court yang belum matang dan sumber manusia pendukung yang belum siap, patut diduga menjadi kombinasi tidak ideal yang menghambat sistem untuk mencapai potensi maksimalnya.