Sistem Proporsional Terbuka Dianggap Hanya Untungkan Oligarki
Menurut Mexasai, sistem proporsional tertutup juga memiliki tantangan. Meskipun pelaksanaan pemilu akan lebih sederhana dan murah, tantangannya adalah bagaimana partai-partai dapat melakukan pengkaderan politik secara baik.
“Jadi, fungsi pendidikan politik harus dijalankan secara maksimal, sehingga partai-partai dapat menawarkan caleg yang terbaik bagi kepentingan rakyat. Dalam sistem mencoblos partai ini, partai politik dituntut untuk berbenah, karena jika tidak, maka partai tersebut tidak akan dipilih rakyat,” urainya.
Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila uji materi itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.
Uji materi ini diajukan oleh enam orang, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Di sisi lain, mayoritas fraksi di DPR justru menyatakan keberatan bila sistem proporsional tertutup diberlakukan. Mereka menginginkan sistem proporsional terbuka yang digugat itu untuk terus dipertahankan. (tan/jpnn)