Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep
jpnn.com - "INI" tidak pernah dibahas di pusat pengambilan kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang "ini". Saya memang tidak tahu bahwa ternyata "ini"-lah pangkal penyebab mahalnya daging.
Begitu naifnya saya.
Saya ingat, setiap terjadi gejolak harga daging, pembahasannya selalu sangat ilmiah. Ilmu supply and demand, ilmu dagang, ilmu hewan, ilmu logistik, serta segala macam ilmu diperdebatkan.
Kesimpulannya pun sangat ilmiah: Indonesia hanya cocok untuk penggemukan sapi, tapi tidak cocok untuk pembibitan sapi. Biaya membuat seekor anak sapi hingga berumur enam bulan sampai Rp 6 juta. Di Australia hanya Rp 2 juta. Tapi, biaya membesarkan dan menggemukkan sapi di Indonesia lebih murah.
Maka, logikanya pun ilmiah: beli saja peternakan sapi di Australia. Khusus untuk pembibitan. Lalu, anak sapi itu dikirim ke Indonesia. Untuk digemukkan. Jangan impor sapi potong dari Australia. Bisa mematikan peternak kita.
Maka, penjajakan untuk membeli peternakan sapi di Australia pun dilakukan. Bahwa usaha ilmiah tersebut gagal, itu karena kurs rupiah tiba-tiba anjlok. Investasi itu harus dihitung ulang.
Anjloknya rupiah, khusus dalam kasus ini, ternyata menyenangkan!
Kenapa pembibitan sapi di Australia murah? Sebab, sapi dilepas di alam bebas! Tidak perlu beli makanan ternak. Yang kian hari kian mahal itu. Kita tidak punya jutaan hektare lahan seperti itu. Kecuali di NTT. Khususnya Sumba. Dan sekitarnya.