Soal Masuknya Kapal Tiongkok, Said Aqil: Mati Membela Tanah Air Termasuk Mati Sahid
jpnn.com, JAKARTA - PBNU mengingatkan pemerintah agar negara tidak lembek, terhadap masuknya kapal Tiongkok secara ilegal ke perairan Natuna akhir Desember 2019.
Meski Tiongkok menjadi salah satu investor terbesar keempat di Indonesia, negara tetap harus menjaga kedaulatannya. "Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (6/1).
Sikap tegas itu, kata Said, sesuai dengan pernyataan pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari terkait menjaga kedaulatan Indonesia. "Hukum membela keutuhan tanah air adalah fardu ain (wajib bagi setiap orang Islam). Dan barang siapa mati demi tanairnya, maka ia mati syahid," katanya.
Kepada Tiongkok, Said mendesak agar berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut ZEE yang telah diratifikasi sejak 1994. Karena itu, Said menilai, tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera Tiongkok di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima.
Pemerintah Tiongkok secara sepihak mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line pertama kali pada peta 1947. Klaim ini menjangkau area perairan seluas dua juta kilometer persegi di Laut Cina Selatan yang berjarak dua ribu kilometer dari daratan Tiongkok. Klaim sepihak ini menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.
Filipina sebelumnya telah memperkarakan Tiongkok atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016 memutuskan seluruh klaim teritorial Tiongkok atas Laut China Selatan sebagai tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. "Beijing menolak keputusan tersebut," kata Said.
Tindakan Beijing menolak keputusan itu, menurut Said, merupakan bentuk nyata pelanggaran terhadap norma dan konvensi internasional yang diakui secara sah oleh masyarakat dunia.