Soal RUU HIP, HNW: Baleg DPR RI Seharusnya Pertimbangkan Penolakan Publik
“Larangan Komunisme serta Pancasila yang bukan Trisila/Ekasila itu seharusnya tidak hanya ditempelkan ke dalam konsiderans, tetapi juga benar-benar terjabarkan dalam norma yang ada dalam batang tubuh RUU itu,” ujarnya.
Menurut HNW, hal ini sejalan dengan aspirasi dan penolakan/kritik Majelis Ulama Indonesia (MUI), Purnawirawan TNI/Polri, para Pakar dan berbagai Ormas atau kelompok-kelompok masyarakat yang menolak RUU itu.
Selain MUI, NU, Muhammadiyah, DDII, Persis, Para Pakar, ICMI, bahkan Purnawirawan TNI/Polri dan kelompok-kelompok masyarakat lain juga menolak secara terbuka RUU HIP ini, antara lain karena tidak dicantumkannya sejak awal TAP MPRS No XXV/1966.
Karena TAP MPRS itu masih berlaku, relevan dan diyakini diperlukan dan akan membentengi Pancasila dari ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Apalagi dengan ideologi komunisme sudah dua kali terjadi pemberontakan terhadap Negara Indonesia serta adanya pengaburan dengan penyebutan Pancasila yang menjadi Trisila dan Ekasila.
“Juga catatan kritis lainnya yang menilai bahwa RUU HIP seperti ini justru men-downgrade Pancasila yang sebenarnya, yaitu Pancasila 18 Agustus 1945 yang ada dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Itu semua penting didengarkan dan dipertimbangkan oleh Baleg DPRRI,” tegasnya.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menilai bahwa ketika FPDIP sebagai pengusul awal RUU tersebut berubah sikap dengan menerima TAP MPRS XXV/1966 dan mengusulkan ideologi-ideologi lainnya, serta penghapusan pasal 7 soal Trisila dan Ekasila, maka rasionalnya, naskah akademik dan draf RUU ini juga perlu dibuat ulang, dan diubah secara mendasar.
Menurut HNW, karena adanya perubahan yang mendasar pada konsideransnya, yang tentunya juga berimplikasi kepada landasan yuridis dan landasan sosiologis akibat reaksi penolakan dari banyak pihak, maka seharusnyalah bila RUU HIP ini ditarik terlebih dahulu oleh Baleg, dan tidak malah dilanjutkan pembahasannya.
“Oleh karena itu, perlu disiapkan ulang naskah akademiknya, dan diperbaiki kontennya sesuai dengan kebenaran sejarah dan sesuai dengan perkembangan sikap partai pengusul. Juga sesuai dengan kritik dan saran dari rakyat, pakar, purnawirawan TNI/Polri, ormas dan lain-lainnya,” tambahnya.